Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PEKAN lalu, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol yang sedang berlayar di perairan Natuna. Ini menjadi pesan tegas Kepala Negara kepada dunia bahwa perairan dan Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, merupakan wilayah kedaulatan Republik Indonesia (RI). Pada kesempatan itu Presiden pun memerintahkan TNI dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk meningkatkan penjagaan wilayah dan tidak ragu menegakkan kedaulatan negara. Langkah Presiden itu terjadi setelah beberapa hari sebelumnya Tiongkok memprotes penembakan awak KRI Imam Bonjol terhadap nelayan mereka di perairan Natuna. Tiongkok mengklaim nelayan mereka mengambil ikan dalam zona penangkapan ikan tradisional mereka. Namun, Indonesia tidak mengenal klaim sepihak itu dan tempat kejadian perkara jelas-jelas berada di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pada bagian lain, rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol tersebut secara langsung memberikan spirit dan amunisi semangat para prajurit TNI-AL serta aparat lain penjaga keamanan NKRI. Demi kedaulatan wilayah nasional, tidak ada kompromi bagi siapa pun yang berani mengganggu atau melakukan tindakan sembrono, sekecil apa pun. Dalam perspektif ini, menarik disimak kisah wayang terkait dengan semangat aparat negara penjaga wilayah laut yang rela berkorban jiwa raga demi kedaulatan negara dan harga diri bangsa. Prajurit raksasa itu bernama Ditya Kala Wilkataksini.
Menyedot Anoman
Berdasarkan berbagai referensi, Wilkataksini tidak ada dalam cerita asli babon Ramayana. Tokoh ini merupakan gubahan asli pujangga Jawa. Ia pasukan tangguh yang bertugas menjaga laut wilayah Alengka. Dalam seni pedalangan, ada versi lain yang mempunyai kemiripan, namanya Ditya Kala Garulangit. Wilkataksini dikisahkan memiliki kesaktian luar biasa. Tugas dan kewajibannya mengharuskannya hidup di laut. Matanya tajam melihat dan telinganya peka mendengar apa pun yang terjadi meski itu jaraknya sangat jauh dari keberadaan dirinya. Bahkan, ia mampu melihat segala sesuatu, sekecil apa pun, yang menyelinap di dasar laut. Pada umumnya wangsa raksasa, Wilkataksini berbadan tinggi dan besar serta bertampang mengerikan. Ia memiliki mulut yang sangat lebar dengan deretan giri taring menggiriskan. Ini merupakan simbol akan keganasan sang penjaga Pantai Alengka itu.
Dalam ceritanya, kehebatan Wilkataksini menjaga wilayah laut dikisahkan ketika ia menangkap basah Anoman. Pada saat itu wanara seta (berbulu putih) tersebut sedang mider (terbang mengitari) di atas lautan dekat pesisir Pantai Alengka. Ketika itu Anoman dalam rangka mengemban misi sebagai duta Prabu Ramawijaya untuk memastikan keberadaan Dewi Sinta, istri Rama, di Alengka. Info yang ia terima, Sinta diculik Raja Alengka Rahwana alias Dasamuka dan kemudian disekap di Taman Kaputren Argasoka yang berada di kompleks Istana Alengka. Wilkataksini melihat kehadiran Anoman dengan jelas. Padahal, saat itu Anoman sedang terbang tinggi dan berada di balik awan. Wilkataksini mengenali sosok yang sedang mengangkasa itu jelas bukan bangsa Alengka. Ia memastikan sosok berwarna putih mulus itu musuh yang akan menyusup ke wilayah kedaulatan Alengka.
Dengan wewenang yang diberikan negara, Wilkataksini langsung mengambil langkah cepat dan tepat. Daripada kecolongan, dan bila itu terjadi akan fatal bagi dirinya, ia mengerahkan kekuatan menyedot Anoman hingga masuk dalam rongga mulut. Karena terbilang kecil, musuh itu tidak perlu dikunyah dan langsung ditelan hingga masuk ke waduk. Anoman, meski memiliki banyak kesaktian, tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Ketika sedang berada di atas awan, ia merasa tiba-tiba datang angin puting beliung yang menggulungnya hingga membuatnya tidak sadarkan diri. Baru beberapa saat kemudian, ia merasa terpenjara di ruang gelap gulita. Anoman tidak mengetahui bahwa ia sesungguhnya berada dalam lambung Wilkataksini. Akhir kisahnya, Wilkataksini memang mati. Ia terkapar dengan perut hancur setelah Anoman yang berada dalam perutnya mengamuk.
Hikmah kisah itu ialah dedikasi Wilkataksini. Ia rela mengorbankan jiwa raganya demi tugas menjaga kedaulatan negara di wilayah laut. Poinnya, bukan membela raja yang zalim, melainkan mempertahankan Tanah Air dari infiltrasi musuh. Meski besar pengorbanannya, Wilkataksini memang tidak digolongkan sebagai tokoh penting. Dalam sanggit para dalang, kehadirannya hanya sepintas. Ia hanya muncul sesaat dalam lakon Anoman Duta. Namun, bila dikaji dalam konteks pertahanan negara, Wilkataksini memiliki peran yang sangat strategis.
Sarat simbolisasi
Hingga saat ini memang belum ada dalang yang mencoba mengeksplorasi sosok Wilkataksini. Padahal, dari patriotisme menjaga wilayah laut terluar, meskipun Alengka dikenal bukan negara maritim, bisa menjadi inspirasi munculnya kisah-kisah lain yang melibatkannya. Jika ditilik dari filosofinya, banyak sisi menarik pada diri Wilkataksini. Sosoknya diciptakan dari daya imajinasi yang luar biasa. Semua yang ada padanya menyimpan banyak simbol. Misalnya, dari kulitnya, Wilkataksini bersisik ikan. Ini melambangkan pertahanan yang kuat ibarat berbalut baja yang mampu menahan gempuran berbagai senjata. Wilkataksini mampu mendeteksi musuh yang keberadaannya jauh dari tempatnya berada, termasuk segala makhluk yang ada di dasar samudra sekali pun. Dalam konteks dunia modern, itu gambaran tentang kecanggihan radar. Alat yang mampu menangkap segala sesuatu yang keberadaannya masih samar atau tersembunyi.
Kemudian ia memiliki mulut lebar dengan gigi runcing bak gergaji serta mampu menyedot sekuat tornado. Ia juga mampu menelan mentah-mentah setiap ‘santapan’ tanpa perlu dikunyah. Ini semua lambang akan kemampuan daya tangkal terhadap setiap ancaman. Ia berani mengeksekusi musuh tanpa lawan sadar yang sedang terjadi pada dirinya. Kehidupannya di lautan merupakan simbol akan kesetiaannya terhadap tugas dan tanggung jawab. Pengorbanan jiwa raganya demi bangsa dan negara bukti cinta Tanah Air. Ini selaras dengan peribahasa yang berbunyi sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati, demi harga diri serta kedaulatan bangsa dan negara, meski hanya sejengkal tanah selebar dahi sekalipun, harus dibela hingga mati. (M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved