Sketsa Jejak Garis Kota

Abdillah M Marzuqi
26/6/2016 01:05
Sketsa Jejak Garis Kota
(MI/Abdillah Marzuqi)

Hasil sketsa akan menjadi bukti sejarah di masa mendatang bahwa bangunan, suasana, atau lokasi itu pernah ada dengan bentuk seperti dalam gambar.

BERJEJER bingkai berpajang ria. Berderet menghias rupa dinding. Kertas yang dibingkai pun bukan kertas kosong. Sebab ada garis-garis menggurat dan membentuk wujud. Kesemuanya bercerita tentang kota beserta isinya, ada bangunan, gedung, stasiun, perkampungan, alat trasportasi, dan monumen.

Semua seolah menegaskan bera­gam gambar kota dengan bentuk masing-masing. Semua guratan garis di atas kertas itu mudah diidentifikasi sebagai sketsa. Memang kali itu ialah pameran yang digelar Komunitas Sketch Alcoholic.

Setidaknya itulah yang tampak pada Pameran Sketsa Jejak Garis Kota. Gelar karya itu diadakan Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 17-24 Juni 2016. Mereka pun punya slogan unik, yakni ‘With sketches we record history’. Slogan itu punya napas yang hampir mirip dengan tajuk pameran Jejak Garis Kota. Tidak berbeda jauh.

Pertama, jejak dimaknai sebagai penanda sejarah. Sketsa dibuat dengan penekanan pada ‘seketika di lokasi’. Artinya, sketer merespons objek yang ada di hadapannya. Hasil sketsa akan menjadi bukti sejarah di masa mendatang bahwa bangunan, suasana, atau lokasi itu pernah ada dengan bentuk seperti dalam gambar.

“Sket itu kegiatan on the spot. Sketsa itu bisa menjadi cerita sejarah di masa yang akan datang,” terang koordinator pameran Deskamtoro Dwi Utomo.

Selain itu, ada yang membuat sketsa menjadi istimewa yakni persenyawaan dan penyatuan angan, pikiran, dan rasa dengan objek bakal sketsa. Sebab sketsa dilakukan seketika di lokasi pengerjaan.

“Tangan, pikiran, dan rasa bersatu dengan objek. Jadi kita dengan garis ada hubungan personal yang lebih dekat dengan objek,” tegasnya.

Beberapa karya yang mencerminkan ‘rupa bentuk seketika’ seperti Sudut Masjid Menara Kudus (2012) karya Abdul Rahman, Sunda Kelapa (2016) karya Bambang Harsono, Stasiun Jakarta Kota (2016) karya Ahmad Bobby Ashari, dan Lawang Suryakencana (2015) karya Ersta Andantino.

Seni sketsa

Berhubungan dengan perkembangan seni sketsa, saat ini sketsa tidak lagi dimonopoli dengan padanan warna hitam-putih. Atau malah gambar mentah yang masih perlu disempurnakan lagi. Dalam pameran ini, banyak gambar sketsa yang telah memakai pewarna. Tercatat ada beberapa yang memakai cat air, di antaranya Copenhagen karya Alicia Indira Lukman, Sepeda Onthel karya Jessica Xaviera Tanto, dan Sungai Yitong Changcun China karya Benny Kharismana.

Apakah sketsa berwarna juga digolongkan sebagai karya sketsa? Jawabannya adalah iya. Sebab tidak merubah inti sketsa sebagai gambar dasar. Selain itu, dalam sketsa, warna dianggap hanya sebagai pemanis.

“Perkembangan sketsa sudah sangat luas. Warna itu hanya sebagai aksesori. Intinya, sketsa itu berciri garis dan warna ekspresif, tetapi kadang juga impresif,” terang koordinator pameran Deskamtoro Dwi Utomo.

Apakah sulit untuk menggambar sketsa? Tidak. Begitu seperti yang diungkap Deskamtoro. Menurutnya, yang paling penting niat dan tekad. Menggambar sketsa bisa diawali dengan objek yang paling sederhana. Bahkan komunitas ini malah kebanyakan berisi para penikmat gambar sketsa. “Tidak harus objek yang rumit. Tidak harus orang yang bisa, yang penting suka dulu,” terangnya.

Komunitas Sketch Alcoholic memang baru terbentuk. Masih berumur satu setengah tahun sejak awal didirikan pada 1 Januari 2015. Bahkan pameran ini adalah pameran perdana mereka.

Namun jangan salah, meski tergolong muda, mereka mampu menggelar pameran yang diikuti 32 sketser. Bahkan beberapa di antara mereka masih duduk di bangku sekolah, seperti Nafas Cinta Putri Raditya, Naura Alia Nafisa, dan Nameera Syifa Almaeda. Mereka bertiga masih kelas empat sekolah dasar.

Pameran itu juga diikuti sketer dari mancanegara. Tercatat beberapa nama yakni Cesar Caldeira dari Portugal, Helena Monteiro dari Portugal, dan Viswaprasad Raju dari India.

Selain pameran karya, terlihat beberapa orang tengah asyik memainkan pensil dan pulpen. Mereka membuat garis dan arsiran di atas selembar kertas putih. Mereka mencoba menangkap momen yang ada di hadapan mereka berupa dua gadis yang sedang duduk. Mereka lalu menuangkannya dalam bentuk sketsa. Saat itu, komunitas Sketch Alcoholic juga mengadakan workshop membuat sketsa. Sebab mereka punya visi dan misi edukasi untuk membuat sketsa semakin dikenal dan diminati khalayak luas. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya