SETIAP perayaan Hari Raya Idul Fitri, masyarakat Wakatobi yang merantau ke berbagai daerah berbeda di Indonesia biasanya akan pulang kampung. Bagi para perantau itu, pulang kampung menjadi tradisi tahunan yang wajib agar bisa bersua dengan sanak saudara.
Di saat kerinduan akan kampung halaman begitu memuncak, warga di kampung pun selalu menyambut para perantau dengan beragam hajatan. Kini, masyarakat di Desa Kulati, Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pun menggelar acara tahunan, yaitu lemba kangsodha dan pajuju. Tradisi itu merupakan puncak pada Festival Potapaki 2015.
Kata potapaki dalam bahasa setempat berarti musyawarah. Para perantau yang pulang kampung diajak untuk bersukaria, melepas rindu, dan bermusyawarah bersama tetua adat, terutama tentang pengalaman setelah merantau di daerah lainnya.
"Puncak acara, yaitu arak-arakan berupa lemba kangsodha dan pajuju. Ini tradisi sudah berlangsung sejak dahulu. Kami mengangkat agar bisa dilestarikan sebagai warisan leluhur masyarakat di sini," ujar Ketua Panitia Festival Potapaki Muhammad Djunaidi saat dihubungi dari Jakarta, pertengahan pekan ini.
Djunaidi yang berada di Wangi-Wangi pun menuturkan warga perantauan sudah mulai tampak mudik ke kampung halaman. Itu sebagai momen penting karena helatan dan suguhan arak-arakan lemba kangsodha dan pajuju pun menjadi sajian bagi warga kampung untuk menyemarakkan Idul Fitri.
Kulati merupakan sebuah desa di Pulau Tomia. Untuk menuju ke sana, kita harus menggunakan pesawat komersial dari Kota Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, menuju Wangi-Wangi selama 45 menit. Lalu, perjalanan pun dilanjutkan ke Pulau Tomia dengan menggunakan moda transportasi laut selama 1-2 jam perjalanan.
"Setahun lalu ramai, tetapi tahun ini lebih unik karena ada suguhan beragam acara adat. Lemba kangsodha dan pajuju menjadi sajian utama. Ini bisa membuat para perantau mengingat kembali masa kecil saat masih di kampung," ujar lelaki yang juga berprofesi sebagai wiraswasta itu.
Helatan lemba kangsodha dan pajuju membuktikan masyarakat adat masih menjaga nilai-nilai dan pandangan hidup gotong royong. Lemba kangsodha merupakan arak-arakan remaja yang baru saja menginjak usia akil balig.
Remaja putra dan putri dipikul dengan tandu berhiaskan bunga setelah melewati masa pingitan selama 8 hari 8 malam yang dikenal dengan ritual sombo alalungku. Remaja putri, misalnya, akan dikurung di dalam kelambu. Empat hari harus tidur menghadap ke timur dan empat hari kemudian menghadap ke barat.
Setelah hari kedelapan, barulah para tetua akan mengarak remaja putri dan putra ke Lapangan Baruga, yang berada di alun-alun Desa Kulati. Pajuju sendiri ialah tumpukan kue karasi (kue tradisional setempat), dibentuk menyerupai kubah bertingkat. Isinya makanan lokal. Selain ubi dan pisang, terdapat pula hasil tangkapan di laut seperti ikan, kerang, dan cumi-cumi.
Ajaran agama Tingkatan kubah pajuju tak lepas dari ajaran Islam. Pajuju bertingkat tiga melambangkan Baitullah (Rumah Tuhan) sekaligus mengingatkan untuk beribadah haji. Pajuju bertingkat lima mengingatkan untuk salat lima waktu, dan pajuju terbesar bertingkat tujuh menggambarkan jumlah hari dalam seminggu dan tingkatan langit di alam semesta.
Pajuju setinggi 4,5 meter dengan lingkar tengah 3 meter itu akan dipikul 99 orang. Semua sesajen biasanya diakhiri dengan acara makan bersama (manga lebu-lebu). Sesi itu yang ditunggu karena penuh keakraban di antara warga pribumi dan pengunjung yang kebetulan hadir menyaksikan ritus budaya itu.
Jumlah 99 orang yang menggotong pajuju pun memiliki makna tersendiri. Djunaidi mengaku biasanya berjumlah 100, tetapi 1 sosok merupakan rahasia. "Kerahasiaan 1 sosok karena sesosok itu merupakan sosok yang agung yang memiliki kekuatan di jagat raya ini. Itu menjadi misteri," paparnya, serius.
Warisan budaya itu masih berakar pada masyarakat adat di Desa Kulati. Warga meyakini ritus itu telah ada dan bertahan sejak lama. Namun, baru satu dekade terakhir disajikan sebagai festival. Tahun ini merupakan keempat kalinya festival diadakan dengan dana swadaya masyarakat.
"Acara ini sebenarnya dirintis para perantau yang tidak lagi berdomisili di Kulati. Awalnya, kami bersama sesama tetua-tetua berembuk agar tradisi dan nilai-nilai itu diangkat kembali. Ini juga berguna bagi generasi sekarang untuk tidak melupakan akar dan asal mereka," ungkap Djunaidi.
Lewat arak-arakan lemba kangsodha dan pajuju, ada makna bahwa manusia mengalami akil balig secara alamiah atas pemberian Sang Kuasa. Mereka menghadirkan pajuju sebagai bentuk agar masyarakat tetap mengingat dan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Islam yang benar.
Lewat suguhan arak-arakan yang dibingkai dengan festival, ada harapan masyarakat tetap mendapatkan berkah. Mereka tidak sekadar pulang kampung. Namun, para perantau pun dapat ikut memberikan kontribusi bagi kampung halaman mereka.
Ada keinginan agar lemba kangsodha dan pajuju menjadi daya tarik wisata dunia. Meski demikian, helatan tersebut sejatinya bukan menjadi proyek atas nama segelintir budayawan atau elite politik setempat. Setidaknya dampak nyatanya harus juga dirasakan penduduk, terutama mereka yang taraf hidupnya di bawah rata-rata. (M-2)