DI ruangan Galeri Ruci Art Space, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, satu per satu tamu pun menumpuk di ruang tengah. Sembari berbuka puasa bersama, para seniman dan kurator mulai menjelaskan sederetan karya yang terpajang rapi.
Di ruangan lantai bawah, tampak jejeran karya dengan rupa media seperti foto, kanvas, dan print. Di lantai atas juga tampak puluhan karya berupa instalasi dan lukisan. Semua terpajang sebagai satu kesatuan dari para seniman yang pernah terlibat pada Biennale Jogja sebelumnya.
Namun, kali ini, karya yang terpajang di Ruci Art Space bukanlah karya yang akan dipamerkan pada Biennale Jogja XIII Ekuator #3. Biennale Jogja baru akan digelar di ÂYogyakarta pada 1 November hingga 10 Desember mendatang.
Pameran di galeri tersebut semacam sinyal. Tujuannya ialah menyosialisasikan Biennale Jogja sekaligus menggalang dukungan donatur untuk terlibat pada helatan dua tahunan itu. Pameran sosialisasi di Ruci Art Space berlangsung dari 30 Juni hingga 5 Juli.
Pameran (di Jakarta) ini untuk memberikan tanda bahwa Biennale Jogja sudah mulai berkumandang. Meski demikian, acaranya nanti baru November, ujar Alia Swastika, Direktur Jogja Biennale XIII, di sela-sela pameran di Ruci Art Space, pertengahan pekan ini.
Pameran sosialisasi itu tidak begitu memberikan ledakan pada segi kekaryaan seniman. Nama-nama yang terlibat pada pameran sosialisasi itu antara lain Tisna Sanjaya, Agam Harahap, Agus Suwage, Akiq AW, Maryanto, Otty Widyasari, Restu Ratnaningtyas, Ratna Wulan, Wimo Ambala, dan Uji Handoko.
Ada dua nama yang akan terlibat pada Jogja Biennale, yaitu Maryanto dan Agam. Sisanya merupakan seniman yang pernah terlibat pada perhelatan serupa sebelumnya. Tisna ialah seniman sekaligus dosen di Institut Teknologi Bandung (ITB). Lewat pameran kali ini, ia menghadirkan This Machine Kills Fascists (66 cmx63 cm, silkscreen print, paper, 2013).
Karya tersebut memang bukan mahakaryanya. Apalagi, Tisna selalu melakukan eksperimen hingga menghasilkan karya baru yang meledak. Hal itu membuat pameran tersebut tidak memberikan kebaharuan sehingga terkesan hanya mengangkat nama-nama seniman beken semata untuk melegitimasi keberadaan galeri yang baru beroperasi pada tahun ini.
Judul karya Tisna pun mengingatkan pada musikus asal Amerika Serikat, Woody Guthrie. Pada 1943, Guthrie pernah menempelkan label di gitarnya dengan kalimat This machine kills fascists. Tentu saja karya Tisna, baik tanpa sadar maupun sadar, telah mengambil judul dari Guthrie.
Karya terbaru yang mendapatkan perhatian bisa kita lihat pada suguhan Restu berjudul Qualin (4 frame variabel, cat air di atas kertas, 2015). Restu menghadirkan empat frame yang masing-masing memuat gambar berbeda. Namun, bila diperhatikan, ada satu kesatuan objek.
Di tiap-tiap frame terdapat objek yang memang masih begitu absurd. Itu membuat karya tersebut lekat dengan unsur perenungan. Terutama atas hal-hal di luar hakikat kemanusiaan. Di salah satu frame terlihat sepasang kaki yang menghadap ke tanah.
Tidak begitu jelas makna tersurat karya tersebut. Kita pun harus jeli untuk menafsir dan menginterpretasikan secara keseluruhan. Meski demikian, Restu mampu menghadirkan karya yang berbeda dengan peserta lain pada pameran tersebut.
Menuju Biennale Ada dua nama yang terlibat di Biennale Jogja, yaitu Maryanto dan Agam. Seniman yang terlibat kali ini mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian di negara ekuator, yaitu Nigeria. Agam, misalnya, mendapatkan dukungan untuk mengembangkan dirinya di sana. Nantinya, ia bisa pulang dan menyajikan karya terbaik untuk menggambarkan negara Ekuator tersebut.
Pada Biennale kali ini, ada 24 seniman Indonesia dan 11 seniman Nigeria. Meski sudah mendapatkan nama, Woto Wibowo, Kurator Jogja Biennale XIII, belum bisa memastikan karya-karya yang akan disuguhkan kepada khalayak di Yogyakarta nanti.
Proses kurasi tetap saya lakukan dengan pendekatan objektif dan karya yang masuk harus berkualitas. Agustus baru kami pajang karya karena belum masuk semuanya. Kali ini kita fokuskan pada kaya seniman dua negara, Nigeria dan Indonesia, ujar Woto.
Woto tampak sedikit mengerang malam itu. Saat berbicara dengan wartawan pun, ia tidak begitu fokus. Maklum, ia sedang sakit gigi. Saya sedang sakit gigi. Jadi, tidak bisa berbicara banyak. Ini sudah dua hari, Mas, cetusnya.
Terlepas dari sakit giginya, Woto pun menampik stigma terkait dengan isu pendanaan Biennale Jogja yang menelan anggaran pemerintah Yogyakarta senilai Rp1 miliar. Ini program pemerintah sehingga kami akan melakukan kinerja yang dapat memberikan dampak bagi masyarakat setempat, tuturnya.
Biennale pun akan dibagi dalam tiga bagian acara, yaitu Pameran Utama, Festival Ekuator, dan Parallel Events. Pameran utama akan diisi dengan karya 24 seniman lokal dan 11 asing, baik dari bidang seni lukis, pertunjukan, maupun patung.
Lewat pameran di Ruci Art Space, para seniman, baik yang pernah terlibat pada Biennale Jogja maupun yang baru akan ikut pada ajang seni tersebut, begitu mendukung. Biennale Jogja kali ini pun mengusung tema Meretas konflik (Hacking conflick).
Ada kesamaan politik antara Indonesia dan Nigeria. Itu terletak pada 1998 saat kedua negara memulai babak baru demokrasi. Tema meretas konflik pun tidak sekadar simbol, tetapi juga ada tujuan penting. Panitia ingin mendayagunakan konflik, membangun gerakan progresif, dan strategi di bidang seni.
Setidaknya, Jogja Biennale yang digelar sejak 1988 itu dapat memberikan sumbangsih bagi dunia seni Indonesia pada umumnya. Bukan sekadar sebagai sebuah proyek yang mengatasnamakan sekelompok seniman semata. Setidaknya, itu bisa memberi dampak bagi masyarakat dan insan seni. Di sini, saya menghilangkan koncoisme. Profesional dalam pengurasian menjadi penting, tutup Woto yang baru pertama terjun sebagai kurator di ajang bertaraf internasional itu. (M-6)