Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
SALAH satu poin rekomendasi Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan (KNIB) yang berlangsung di Yogyakarta belum lama ini ialah dorongan kepada para elite dan politisi di negeri ini untuk menganut mazhab politik luhur. Artinya, berpolitik dengan mendasarkan nilai-nilai keutamaan.
Inilah jalan ke keadaban dan kejayaan bangsa. Tentu, dorongan itu bukan tanpa sebab. Faktanya, praktik politik mayoritas politisi kita hingga hari ini masih jauh dari kemuliaan. Terjebak dalam pergumulan politik 'mental kere', berebut dan rayahan demi terpenuhi nafsu pribadi dan golongan. Hanya mimpi kosong bila derajat para pengembating praja (pejabat) seperti itu. Adalah keharusan memaknai bahwa setiap jabatan, wewenang, dan kekuasaan itu amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, harapan dan cita-cita reformasi akan bisa disemai.
Politik luhur sebagai sebuah konsep tidak akan terwujud bila secara individu kualitas politisi kedodoran, terutama dalam aspek kepribadian. Kecerdasan tanpa pribadi mulia justru akan merusak tatanan yang pada gilirannya menghancurkan peradaban. Bangsa ini pernah melahirkan politisi berbudi luhur dan berkaliber dunia. Etos mereka semata-mata untuk keagungan bangsa dan negara. Jadi, bukan teori dan wacana bahwa berpolitik luhur yang diharapkan itu ialah sesuatu yang realistis.
Kesatria kekasih dewa
Politik luhur hanya bisa terwujud bila secara pribadi politisinya berkarakter dan kepribadian mulia bisa kita lihat pula dalam kisah wayang. Sebaliknya, politisi yang tidak memiliki keutamaan akan melahirkan politik kotor yang gilirannya menuai kehancuran. Hal itu, misalnya, secara gamblang bisa kita kaji pada keluarga Kurawa dan Pandawa. Mereka sama-sama keturunan atau trah raja sekaligus resi ternama, Abiyasa alias Kresnadwipayana. Namun, secara kualitas pribadi, perbedaan antara Kurawa dan Pandawa ibarat bumi dan langit.
Sejak awal, Kurawa anak-anak Drestarastra-Gendari tidak pernah serius menggulawentah pribadi. Meski samasama diwulang guru yang sama, Kurawa tidak mendapatkan nilai baik karena lebih suka bermain-main. Sebaliknya, Pandawa putra Pandudewanata- Kunti/Madrim ialah anak-anak yang rajin dan tekun belajar. Bahkan, di luar jam sekolah, mereka masih banyak memanfaatkan waktu untuk belajar.
Sikap seperti itu berlanjut hingga membentuk watak ketika dewasa. Pada masa di saat mereka mengenal politik dan kekuasaan, Kurawa memainkan politik dengan sesukanya, tanpa etika dan moral. Yang penting kekuasaan di tangan, tidak peduli cara yang mereka lakukan. Karenanya, selama Kurawa berkuasa atas Astina, negeri yang semula pamornya mencorong lambat laun berubah kucem, redup. Korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi-jadi. Akibatnya, kekuasaan mereka ibarat sak gebyaring kilat, hanya sebentar.
Kurawa tumpas dalam waktu singkat di Kurusetra dalam perang Bharatayuda. Berbeda dengan Pandawa. Sejak kecil hingga dewasa, mereka Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten- -tidak pendat (berhenti) belajar dan menjalani laku prihatin. Setiap lelakon atau penderitaan yang mereka pikul bertubi-tubi, atas kekejaman Kurawa, justru dijadikan ajang mengasah sekaligus membentuk karakter. Mereka teguh dan kukuh mengedepankan nilai-nilai keutamaan. Pada akhirnya, Puntadewa dan adik-adiknya menjadi pribadi-pribadi unggul.
Mereka juga memiliki kepintaran mumpuni dan kesaktian pilih tanding (sulit ditandingi). Mereka menjadi insan-insan kekasih dewa. Puntadewa dikenal sebagai kesatria yang berfi losofi bahwa hidup itu berdarma. Wataknya sabar, jujur, dan gandrung terhadap perilaku utama. Selain itu, moralnya tinggi serta gampang memaafkan. Sebagai raja, ia adil dan bijaksana. Cinta terhadap sesama sehingga tidak pernah memunyai musuh. Karenanya, Puntadewa juga bernama Ajathasatru. Dari semua itu, Puntadewa kondang disebut titah berdarah putih. Kemudian Bratasena alias Werkudara ialah pribadi yang jujur, gagah berani, teguh, kuat, dan tabah.
Kesatria yang memiliki badan tinggi dan besar ini tidak suka berbasa-basi, lugu atau apa adanya. Meski tandang tanduk (perilaku)-nya 'kasar', sesungguhnya ia berhati lembut. Werkudara tidak pernah takut menghadapi siapa pun dan apa pun demi tegaknya kebenaran. Kualitas pribadinya terbukti ketika bisa bertemu dirinya sejati yang digambarkan pada Dewa Ruci.
Permadi alias Arjuna merupakan kesatria pendiam yang pintar, lembut budinya, sopan, bicaranya halus, dan gemar menolong mereka yang lemah. Ia juga tidak pernah mundur menghadapi semua rintangan. Kualitas pribadinya teruji ketika menjalani tapa di Gunung Indrakila dengan nama Begawan Ciptaning. Dari sana, ia pernah mendapat mandat dari dewa memulihkan ketenteraman Kahyangan dari jamahan raja Kerajaan Himahimantaka yang berwujud raksasa, Prabu Niwatakawaca. Bungsu Pandawa, yakni Pinten alias Nakula dan Tangsen alias Sadewa, putra kembar Pandudewanata- Madrim, sama-sama memiliki watak jujur, setia dan taat kepada saudara tua, serta mampu menjaga rahasia. Keduanya juga dikenal sebagai kesatria yang tabah, tekun bekerja, dan tidak pernah mengeluh.
Dicontoh rakyat
Nilai dari Pandawa ialah individuindividu berkualitas yang seminau. Baik kecerdasan otak, kepribadian, maupun sipiritualnya. Mereka titah-titah berbudi luhur. Tataran (grade) itu digapai lewat kegenturannya mesu budi, perjuangan lahir-batin tanpa henti. Dengan modal itulah mereka menjalani amanah hidup, termasuk dalam berpolitik. Maka yang muncul ialah politik luhur bahwa kekuasaan bukan segala-galanya tapi yang lebih mendasar ialah bagaimana menggapainya, yakni dengan etika, moral, dan beradab.
Perilaku Pandawa (pemimpin) yang menjunjung tinggi keutamaan itu menjadi mainstream perilaku rakyat Amarta dalam praktik kehidupan berwarga dan bernegara. Karenanya, negara Amarta begitu kuncara seantero bawana. Sakin hebatnya negara itu juga bernama Indraprastha.
Keindahannya mirip dengan kahyangannya Bathara Indra. Dalam konteks kebangsaan, seluruh anak bangsa ini seyogianya berlomba-lomba menjadi insan-insan berkepribadian unggul, terutama para pemimpin, elite, dan politisi. Begitu pentingnya para kalangan atas berkepribadian luhur karena mereka menjadi contoh rakyat.
Dalam kearifan lokal kita dikenal dengan istilah ledhok iline banyu, artinya tanah rendah tempat air mengalir. Maknanya, bila yang di atas (pemimpin) berkelakuan mulia, yang di bawah (rakyat) akan meniru. Sebaliknya, bila yang di atas kotor, yang di bawah jangan salahkan menjadi limbah. (M-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved