Terpana di Ujung Barat Pulau Bunga

Iis Zatnika
29/5/2016 12:53
Terpana di Ujung Barat Pulau Bunga
(MI/Iis Zatnika)

ATRAKSI budaya dan senyum hangat para penduduk menjadi pelengkap saat melancong ke Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Jangan lupakan pula anugerah Yang Maha Kuasa yang eksklusif diberikan untuk Flores, komodo, sang naga penghuni bumi sejak zaman prasejarah yang hingga kini masih hidup sejahtera di empat pulau di sana.

Pada 21 hingga 24 Mei lalu, saya beruntung bisa menjejakkan kaki di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, menyambut 160 pebalap dari 16 negara peserta Tour de Flores (TdF) 2016 yang diadakan kali pertama, hasil kolaborasi Kementerian Koordinator Maritim, Kementerian Pariwisata, Pemerintah Provinsi NTT, pemerintah kabupaten, serta perusahaan negara dan swasta.

Peluh keringat yang membasahi sekujur tubuh para atlet berpadu dengan keriuhan masyarakat. Maka, terjadilah keriaan yang disebut Menteri Pariwisata Arief Yahya, pesta rakyat. Mereka turun ke jalan dan riuh menyambut pengumuman pemenang yang gelar juara umumnya diraih pembalap Terengganu Cycling Team, Daniel Whitehouse.

Pesta rakyat
Pesta rakyat itu pun berlanjut pada tarian Akomawo, dibawakan sedikitnya seratus anak yang mengenakan kain tenun yang dirawat antar generasi yang mereka sebut songket. Kultur timur yang egaliter, membuat ajang finis pada Senin (23/5) di Kantor Bupati Labuan Bajo itu menerbitkan optimisme pesta rakyat itu akan kembali digelar tahun depan.

Labuan Bajo yang dijadikan titik finis memang istimewa. Kabupaten dengan pelabuhan udara itu telah tersohor di kalangan para pelancong asing pun domestik. Tak sulit menemukan para bule berseliweran di hotel, pusat kuliner Kampung Ujung, hingga yang tengah melancong di kapal-kapal kayu nan anggun.

Berkah dari meriahnya industri wisata, sektor dengan efek ganda dan menyerap tenaga kerja, inilah yang menurut Arief tengah diupayakan dirasakan pula oleh warga Flores dari Maumere hingga Labuan Bajo. TdF menjadi salah satu ikhtiar untuk mengungkitnya. "Agar tak ada lagi cerita kecemburuan karena cuma daerah tertentu saja yang dikenal."

Atraksi Pulau Komodo dan sekitarnya memang masih jadi juara di Flores, dan kerisauan tentang masih berpusatnya turis ke sana bahkan juga terasa di Labuan Bajo. Destinasi di sana masih perlu disolek dan di­kisahkan agar kabupaten itu tak hanya jadi area transit.

Gerbang yang elok
Empat hari di Labuan Bajo, saya mencoba memvalidasi sebutan di majalah wisata The Journey yang berucap kawasan ini bukan cuma pintu gerbang, tetapi tak kalah eksotis untuk dijelajahi.

Di Labuan Bajo, mencari penginap­an, baik yang berbintang maupun berfasilitas bersahaja tetapi dengan pemandangan luar biasa, tidaklah sulit. Aneka jenis akomodasi terbentang di sepanjang garis pantai sehingga keseruan berbaring di tempat tidur sembari memandang laut bukanlah cerita eksklusif di sini.

Saya menginap di hotel di kawasan Pantai Pede, berpasir putih dengan panorama aneka jenis kapal, termasuk perahu kayu nan anggun.

Namun, agar panorama saat kaki menjejak pasir sama indahnya dengan pantai jika dilihat dari lans­kapnya, pantai yang sempat menjadi lokasi peluncuran Sail Komodo pertama pada 2013 lalu ini memang segera perlu disentuh pemerintah. Kebersihan perlu segera dibenahi, dengan tetap mempertahankan eksistensi nelayan lokal yang menambatkan perahu di bibir pantai. Interaksi dengan penduduk lokal, obrolan ringan dengan mereka sembari melihat mereka memperbaiki kapal atau bersiap melaut ketika matahari terbenam, bisa menjadi cerita tersendiri buat para pelancong.

Cerita dari laut
Jika pagi kami jemput di Pantai pede, destinasi terbaik untuk mengisi siang hari ialah Gua Batu Cermin yang terletak di Desa Waesambi. Trekking pendek selama 10 menit, kami melewati terowongan yang terbentuk dari pohon bambu berduri. Di sana kami disambut dua ekor ular hijau yang sedang bermalas-malasan di salah satu ranting pohon bambu.

Mendekati gua dengan sosok tebing luarnya setinggi 70 meter, Itham, pemandu kami berkisah jika gua ini ditemukan pada 1950-an, dan diduga menjadi bagian dari perairan dalam di masa lalu. Dinding dengan jejak ikan, kura-kura dan kerang, memvalidasi keyakinan itu.

Eksplorasi ke dalam gua selama 15 menit dengan fasilitas helm dan senter, pelancong akan diajak menjelajahi lorong waktu. Alam bekerja dengan perlahan tapi pasti, mempertemukan stalagmit dan stalagtit.

Julukan batu cermin akan ditemukan di sebuah pojok yang pada musim hujan tergenangi air.

Senja terindah
Panorama matahari terbenam kemudian kami jemput di Bukit Cinta. Memanjatnya sekitar 5 menit saja, mata akan disuguhi panorama bukit-bukit hijau dengan aneka konturnya, berpadu dengan birunya laut yang bergradasi serta pulau-pulau kecil yang mencuat di antaranya. Menjelang pukul 18.00, panorama matahari terbenam kemudian menggetarkan sanubari kami.

Pendaran warna merah dengan bulatan matahari berwarna kuning tua tenggelam perlahan. Dramatis karena latarnya terbingkai sempurna.

"Ini sunset paling indah yang pernah saya lihat," kata Ruth, pelancong asal Belanda yang datang bersama enam anggota keluarganya.

Berbeda dengan para turis lokal yang sibuk selfie atau wefie, Ruth dan rombongannya lebih takzim menikmati sunset sembari melontarkan celetukan-celetukan kekaguman. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya