Tragedi di Ujung Parang Sari

MI/ Iwan J Kurniawan
14/6/2015 00:00
Tragedi di Ujung Parang Sari
(MI/Arya Manggala)
BAYANGAN siluet dari layar panggung begitu jelas terlihat. Para penari meliukkan tangan secara perlahan. Bentangan kain putih sengaja digeletak di tengah panggung. Kain tersebut bukanlah sekadar ornamen penghias. Ada makna dan simbol tersurat sebagai buih-buih sungai. Dua penari laki-laki, Sukmaraga (diperankan Safir Radana) dan Patmaraga (Rahmat Dwi P) sejenak berlari ke tengah panggung.

Keduanya membuat guncangan serempak. Sejurus, beberapa gerakan mirip Tari Manugal, sebuah tarian lemah gemulai yang menggambarkan kegiatan bercocok tanam di daerah pesisir Kalimantan Selatan (Kalsel). Lima menit berlalu, empat penari lain membentangkan secara naik turun kain putih panjang itu. Suasana buih-buih sungai itu pun mereka hadirkan.

Tak berapa lama, Putri Junjung Buih (Merry Yusminda) pun muncul dari sela-sela kain putih itu. Putri melangkah perlahan. Ia melenggok sambil berjalan ke arah depan. Ia hanya menatap Sukmaraga dan Parmaraga yang tampak keheranan. Putri pun melempar sekapur sirih dan sekuntum bunga mawar merah (kembang nagasari) ke kedua lelaki itu.

Kembang nagasari itu sebagai tanda cinta tunas di hatinya. "Ada anak muda berbuat cela. Mencintai Putri adalah dosa. Tulahnya tujuh generasi. Dijauhi rezeki seluruh (penduduk) negeri," sesuara lantang pun terdengar dari arah sekerumun warga. Cuplikan awal ini merupakan suguhan Sanggar Air lewat pergelaran Sastra Sendratari Junjung Buih: Malam Berdarah di Plaza Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, pertengahan pekan ini.

Sutradara Hendra Royadi Saina mengangkat pementasan tersebut dari saduran puisi Malam Berdarah karya sastrawan Kalsel, Rosdiansyah Habib (alm). Sanggar Air berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara. Sepanjang pementasan, iringan musik tradisi dan sastra pitutur pimpinan M Rifai, begitu terasa. Seniman-seniman daerah ini mengangkat kekhasan yang ada di daerah mereka untuk dipertontonkan kepada khalayak Ibu Kota.

Ratusan penonton duduk bersila dengan beralaskan tikar di pelataran gedung. Beberapa di antaranya sambil berdiri. Mereka memelotot setiap dramaturgi yang disajikan Sanggar Air. Ada suasana santai dan rileks karena selesai pementasan pun dilakukan diskusi bersama. Pementasan Malam Berdarah pun berlanjut saat Patih Lambung Mangkurat (R Chairil Tony) meminta kedua kemenakannya, Sukmaraga dan Patmaraga, untuk menjauhi Putri.

Pasalnya, itu bisa saja mendatangkan aib bagi ayah bunda dan bala bagi Negara Dipa. Mendapati larangan itu, Sukmaraga dan Patmaraga makin mencintai Putri. Mereka pun mulai melakukan percintaan terlarang. Adegan erotis itu memang tidak ada, hanya simbol-simbol seperti saat Sukmaraga berduaan mengarungi sungai  bersama Putri.

Begitu pula pada bagian lain, Patmaraga mendayung sampan bersama Putri di bawah bulan lebam. Kala penari mendayung sampan, bayangan yang dibuat di layar putih memberikan warga monokrom. Sutradara seakan menandaskan bahwa percintaan itu dilakukan saat mereka mengarungi sungai. Meski secara pemanggungan, hanya disimbolkan lewat bayangan yang ada di layar putih.

Kasih terlarang

Mendapati percintaan keponakannya, Mangkurat pun berbuat sesuatu yang kejam. Itu ia lakukan agar tidak terjadi tulah di Negara Dipa. Atas dorongan masyarakat, Mangkurat terpaksa melakukan amanat untuk menghabisi nyawa kemenakannya. Percintaan antara manusia dan dewi itu ibarat api di pusaran bumi yang tak terpadamkan.
Ada pantangan bagi siapa pun untuk mencintai dan dicintai Putri.

Dia ialah dewi suci sehingga jalan satu-satunya, yaitu melakukan eksekusi terhadap orang yang Putri cintai. Mangkurat pun menghunuskan pedang ke perut kedua kemenakannya. Ia lakukan kala mereka sedang bermain di tepi sungai. "Sukmaraga, Padmaraga, anakku di mana kalian?" ujar Empu Mandastana, ayah Sukmaraga dan  Patmaraga.

Sambil menari, ia mencari kedua putranya. Dewi Ratna (Ratna Sari), sang istri, pun ikut mencari. Sayang, hanya jasad yang terapung di sungai yang memerah saga. Mendapati hal itu, Dewi Ratna tak sanggup melihat kedua jasad anaknya. Ia pun mengerang dan menangis tanpa henti. Dewi Ratna pun mengambil sebilah parang sari nan sakti. Dihunuskannya ke perut seketika. Ia pun terbujur kaku.

"Lambung Mangkurat. Ini semua ulahmu!" pekik Empu Mendastana.  Mangkurat hanya terdiam di balik pura. Ia tertunduk dengan mata penuh penyesalan. Ia tak banyak bicara hanya menyesali perbuatannya. "Kau harus pertanggungjawabkan semua ini," teriak Empu Mendastana sebelum ikut menusukkan parang sari ke perutnya juga.
Ia hanya ingin menemani jasad istri jelitanya.

Pemimpin Negara Dipa pun meninggal di ujung parang sari, senjata sakti--warisan para raja di negeri tersebut. Lakon tragis ini memang mengedepankan pendekatan prosais, historis, dan estetika. Para aktor juga piawai menghadirkan unsur budaya sungai. Maklum, 80% daerah di Hulu Sungai Utara ialah sungai. Keberadaan sungai pun menjadi inspirasi bagi Sanggar Air untuk menyajikan pementasan kali ini.

Meski tersaji apik dengan lakon tragis, Sanggar Air masih perlu berbenah. Terutama, para aktor yang masih belum tenang saat berakting, dialog masih terkesan kaku, dan narator masih lebih mendominasi pergelaran ketimbang dialog lakon. Adegan tragis seakan mengingatkan kita pada sederet lakon klasik karya dramawan Inggris, William Shakespeare (1564-1616).

Terlepas dari itu, Sanggar Air yang awalnya bernama Teater Air pun sudah cukup eksis. Mereka ingin menunjukkan diri sebagai kelompok teater tradisi untuk membawa nama daerah mereka. "Kami siapkan sejak awal tahun. Kami fokus untuk mengangkat sastra daerah, legenda, dan sejarah setempat," tutur Hendra, seusai pementasan 90 menit itu.

Pementasan di Jakarta merupakan awal. Sanggar Air akan menyuguhkan Malam Berdarah ke publik di Amsterdam, Belanda, akhir tahun ini. "Sekarang sedang pemantapan. Kami akan mementaskan ini juga di Belanda. Suguhan tetap sama dengan pentas sekarang," akunya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya