Tekan Polusi di Kota Angkot

MI/Siti Retno Wulandari
14/6/2015 00:00
Tekan Polusi di Kota Angkot
(MI/IMMANUEL ANTONIUS)
BEBERAPA penumpang di dalam angkutan kota (angkot) itu tampak kebingungan. Petugas stasiun pengisian bahan bakar meminta mereka turun sejenak, saat angkot berwarna hijau itu dipasok energi. Selang pengisian bahan bakar pun bukan dihubungkan ke bagian samping kendaraan, melainkan ke tabung yang di bagian belakang bawah angkot.

Itulah tabung untuk bahan bakar gas (BBG). "Saya juga sempat ragu, takut meledak, tapi aman-aman saja tuh," tukas Dedi, 40, dari balik kemudi angkot Cimanggu-Pasar Anyar, Bogor, Rabu (3/6) di stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG) di Jl Merdeka, Bogor. Angkot Dedi merupakan satu dari 50 angkot di Kota Bogor yang beralih dari bahan bakar minyak (BBM) ke BBG mulai akhir tahun lalu.

Penggunaan BBG menjadi bagian upaya Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor untuk menekan tingkat emisi. "Emisi terbesar Kota Bogor dari sektor transportasi. Untuk mencapai low emission development, ada lima sektor yang akan kami perbaiki dan yang pertama itu transportasi," tutur Naufal Isnaeni, Kepala Subbidang Tata Ruang dan Lingkungan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor di sela-sela acara Urban Low Emission Development Strategies (Urban LEDS) di Bogor, beberapa waktu lalu.

Bukan hanya di Bogor, peralihan dari BBM sebenarnya juga dibutuhkan sektor transportasi di berbagai kota. Pemerintah menyebut 50% dari total penggunaan energi  nasional habis ke sektor transportasi. Sementara itu, 92% dari keseluruhan energi yang digunakan secara nasional masih bersumber dari BBM. Jika tidak segera beralih, ketersediaan BBM kita diperkirakan akan habis dalam 23 tahun lagi.

Tidak hanya itu, BBM juga menyebabkan polusi tinggi. Sekitar 70% polusi udara disebabkan kendaraan bermotor. Data Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa lebih 50% kendaraan yang beroperasi di jalan memproduksi emisi gas buang di atas ambang batas yang diizinkan. Sudah sepantasnya pemerintah pusat maupun daerah serius memanfaatkan energi alternatif untuk sektor transportasi.

Berdasarkan data Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor, dari pencatatan 23 angkot, ditemukan saat menggunakan BBM, tingkat emisi karbon monoksida mencapai 2,747% dari total emisi. Sementara itu, emisi hidrokarbon mencapai 608 ppm. Saat ke-23 angkot itu menggunakan BBG, emisi kedua gas itu tercatat 0 alias tidak ada.

Namun, melihat di Bogor pula, per alihan dari BBM ke BBG pun membutuhkan waktu lama. Naufal menjelaskan bahwa kota yang kerap dijuluki 'Kota Sejuta Angkot' itu telah menerima bantuan seribu converter kit (alat penyelaras) untuk BBG sejak 2012. Namun, bantuan yang diberikan Kementerian Perhubungan itu tidak dapat langsung dimanfaatkan karena kendala infrastruktur.

Converter baru bisa digunakan setelah ada SPBG milik Perusahaan Gas Negara (PGN) tersebut. Jika mengingat jumlah angkot yang melintasi Bogor, jumlah alat penyelaras itu kurang mencukupi. Menurut Naufal, kini ada 3.000 angkot beroperasi di Kota Bogor. Adapun di kabupaten terdapat 4.000 angkot lainnya. Di sisi lain, seperti yang dikatakan Dedi, ada kekhawatiran keamanan saat menggunakan BBG.

Kekhawatiran itu juga muncul lantaran insiden yang terjadi pada angkutan yang menggunakan BBG, seperti beberapa insiden yang dialami bus Trans-Jakarta. Namun, dari pengalaman mulus sejauh ini, termasuk dari layanan detail petugas SPBG, Dedi mengaku kekhawatiran itu perlahan surut.

Hemat di kantong,tanpa polusi
Dedi yang mengoperasikan angkotnya selama 8 jam sehari mengaku juga ada faktor lain yang lebih mendorong kemauannya menggunakan BBG. "Lebih irit. Pakai bensin, satu hari bisa menghabiskan Rp90 ribu, BBG hanya Rp35 ribu," tukasnya. Dalam satu hari, Dedi hanya mengisi sebanyak dua kali, atau jika tiap seusai empat kali bolak-balik trayek.

Dedi pun berkelakar dengan kemacetan Kota Bogor, tidak lagi membuat pikirannya pusing. "Kan bahan bakarnya lebih murah, Rp3.100 per liter setara premium (lsp). Ini tabung berkapasitas tujuh lsp," imbuhnya saat terjebak di kemacetan Pasar Anyar. Meskipun menggunakan bahan bakar gas, angkot yang dikendarai Dedi tetap harus terisikan bensin, paling tidak harus terisi sekitar 10 liter dengan waktu penggunaan sekitar dua minggu. Bensin digunakan untuk memanaskan mesin mobil ketika pertama kali akan dipakai. Soal perawatan, ia hanya perlu membersihkan busi satu kali dalam seminggu. Kini Dedi mengungkapkan banyak sopir angkot lain yang ingin menggunakan BBG.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya