Kebersamaan yang tidak Pudar

Mohammad Ghazi
08/5/2016 00:45
Kebersamaan yang tidak Pudar
(MI/MOHAMMAD GHAZI)

Bentuk bangunan Masjid Jami Sumenep merupakan penggabungan berbagai unsur budaya. Itu bentuk akomodasi dari budaya yang berkembang di masyarakatnya.

JIKA dilihat sepintas, bangunan yang berada di seberang Taman Bunga di Kota Sumenep, Jawa Timur, itu seperti gerbang sebuah benteng atau gerbang keraton. Bangunan itu didominasi warna kuning sehingga juga tampak seperti bangunan bercorak Tionghoa.

Bangunannya tinggi dan memanjang dengan sebuah pintu masuk dengan lebar 2 meter di bagian tengahnya. Itu sejatinya merupakan pintu gerbang Masjid Jami Sumenep, salah satu ikon wisata sejarah di wilayah itu.

Bentuk dan corak pintu gerbang tersebut membuat masjid berusia dua abad lebih itu menjadi salah satu bangunan masjid tua dengan arsitektur unik di Indonesia, selain Masjid Menara Kudus Jawa Tengah, Masjid Bawah Tanah Taman Sari Yogyakarta, dan Masjid Mohammad Cheng Ho. Bangunan gerbang setinggi 15 meter dengan tebal bangunan 4 meter itu tidak hanya berfungsi sebagai pagar masjid. Di bangunan yang hampir menyerupai miniatur Tembok Tiongkok itu juga terdapat ruangan yang berada di kanan dan kiri pintu gerbang. Ruangan dengan pintu besi itu berfungsi sebagai sel tahanan bagi pelaku kriminal seperti pencurian, pemerkosaan, perjudian, dan perkelahian.

Penempatan ruang tahanan di depan masjid itu sebagai terapi mental dan penyadaran bagi para tahanan. Mereka akan terlihat oleh jemaah, terutama pada saat salat jumat. Saat ini, ruangan itu dijadikan sebagai tempat penyimpanan barang. Selain bangunan pagar, di halaman masjid terdapat dua bangunan berbentuk cungkup, yang konon merupakan pos penjagaan prajurit keraton.

Selain menjaga keamanan masjid, prajurit yang berjaga di kedua cungkup itu berfungsi sebagai sipir yang menjaga dan melayani kebutuhan tahanan. Seperti halnya bangunan lain di kompleks itu, bangunan utama masjid juga menyimbolkan corak kebudayaan empat bangsa, Tionghoa, Arab, Eropa, dan Jawa (Mataram). Bentuk pintu dan relief yang menghiasi serta ornamen interior masjid lebih didominasi kebudayaan Eropa dan Arab. Sementara itu, bagian atap yang berbentuk limas merupakan ciri khas masjid Mataraman.

Simbol pluralisasi

Budayawan Madura, Ibnu Hajar, mengatakan perpaduan corak Eropa, Tionghoa, Arab, dan Madura itu merupakan simbol pluralisasi masyarakat setempat yang terbangun sejak masa kerajaan. Masyarakat setempat sudah terbiasa membangun komunikasi dengan warga dari bangsa lain, terutama Tionghoa dan Arab, disusul kemudian dengan bangsa Eropa. Dengan bangsa Tionghoa, sudah terbangun sejak masa pemerintahan Arya Wiraraja sebagai adipati di wilayah itu, saat membantu Raden Wijaya membangun Majapahit.

Dengan bangsa Arab, kerja sama mulai terbangun sajak terjadi penyebaran agama Islam di Madura. Dengan bangsa Eropa, puncaknya terjadi saat Sultan Abdurrahman atau Panembahan Sumolo yang merupakan salah satu dari dua raja di Nusantara yang menjadi narasumber dalam penulisan buku The History of Java oleh Thomas Stamford Raffl es pada sekitar 1778. Raja yang juga menguasai bahasa Mandarin, Arab, dan sejumlah bahasa di Eropa itu mendapatkan penghargaan dari Ratu Inggris di kala itu. Penghargaan tersimpan hingga kini di Museum Keraton Sumenep.

"Sejak masa kerajaan, masyarakat Sumenep terbiasa untuk bersikap toleran dengan bangsa lain seperti disimbolkan dalam corak kompleks Masjid Jami dan keraton. Sikap itu bertahan sampai saat ini sehingga di daerah ini belum pernah terjadi konfl ik akibat perbedaan ras," kata Ibnu Hajar. Kompleks Masjid Jami Sumenep dibangun pada 1778 sampai 1789, saat Panembahan Sumolo menjadi adipati di Keraton Sumenep. Keunikan arsitektur pagar dan bagian bangunan masjid itu tidak lepas dari peran Lauw Pia Ngo, seorang arsitektur Tiongkok. Lauw Pia Ngo merupakan salah seorang pelarian dari Semarang, saat terjadi kerusuhan berbau SARA di daerah tersebut sekitar 1740. Dia memilih tinggal di Sumenep karena dianggap sebagai tempat yang aman dan sudah banyak warga keturunan Tionghoa yang menetap.

"Pada masa itu sudah banyak warga asal Tiongkok yang tinggal di Sumenep. Itu terjadi sejak adanya kerja sama antara Arya Wiraraja, raja pertama di Sumenep, dengan bangsa Tiongkok saat awal-awal pembangunan Kerajaan Majapahit," kata sejarawan Sumenep Edhy Kurniawan.

Saat akan mendesain pembangunan masjid, Lauw Pia Ngo diutus ke Mataram untuk mempelajari bentuk bangunan keraton dan masjid kesultanan. Namun, karena dasar pengetahuannya ialah arsitektur Tiongkok, nuansa Tionghoa tetap mendominasi bangunan Masjid Jami Sumenep sehingga menjadi bangunan yang unik. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya