Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
TANPA banyak cakap, kami menyusuri jalan setapak. Bergegas, hanya itu yang ada dalam benak. Sebab hari itu kami harus mengunjungi beberapa tempat yang ada pada wilayah administratif Desa Tae. Kami melintas berurutan. Lebar jalan tak mengizinkan kami berdampingan. Tujuan pertama ialah Tembawang yang ada di Kampung Bandan, Desa Tae, Kecamatan Balai Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Tiba di Kampung Bandan, pemuka adat segera melakukan upacara bernama nyamut muai. Ritual singkat itu dimaksudkan untuk meminta keselamatan bagi tamu dan tuan rumah. Ritual singkat tersebut diisi dengan pengucapan mantra sembari menabur beras kuning ke seluruh tamu. Di sela pengucapan mantra diselipkan harapan masyarakat Desa Tae agar Presiden Jokowi mau berkunjung ke desa itu. Tembawang, begitu masyarakat Desa Tae menyebutnya. Istilah ini merujuk pada kebun rimbun. Layaknya hutan, kebun itu punya berbagai macam pohonan. Tembawang didominasi tanaman buah seperti durian, tengkawang, langsat, dan mentawai. Dari hasil tanah inilah masyarakat Desa Tae menggantungkan hidup mereka.
Setelah menghabiskan waktu beberapa saat berjalan, kami tiba di mata air. Ini hanyalah salah satu dari mata air yang bisa ditemui di Tembawang Kampung Bangkan. Masih ada 20 mata air lagi di Tembawang yang sama. “Saya hitung ada 21 sumber mata air,” terang Ketua RT Kampung Bangkan Karia, 58. Begitu kuat keyakinan masyarakat Desa Tae sampai mereka tidak tahu berapa luas pasti Tembawang milik mereka. Bagi mereka, mengukur luas Tembawang berarti seolah-olah mau menjual tanah Tembawang. “Kalau diukur itu seperti mau jual,” ucapnya lagi. Namun, ia memperkirakan Tembawang itu mempunyai luas lebih dari 1 ha. Bahkan Kepala Desa Tae juga mengaku tidak mengetahui luas pasti Tembawang yang berada dalam kawasannya. Kades juga sebatas sampai pada tataran ‘kira-kira’ terkait dengan jumlah Tembawang. “Ya kira-kira ada sekitar 200 ha luas Tembawang di Desa Tae.”
Satu pohon, satu nyawa
Perkara jual-beli tanah pun menjadi hal tabu. Jangankan menjual, menebang satu pohon pun sudah merupakan tindakan yang tidak dapat dimaafkan. Bagi mereka, satu pohon adalah satu nyawa. Artinya jika menebas satu pohon, sama saja memotong satu nyawa. Tumenggung Adat Anuk menerangkan hal itu ditanya tentang alasan tidak diperbolekan menebang pohon. Ia hanya menjawab singkat dengan pertanyaan balik. “Bagaimana jika manusia yang dipotong,” jawabnya. Hukuman yang lebih berat bisa dikenakan untuk mereka yang mengotori sumber air. Air ialah yang utama bagi masyarakat Desa Tae. Padahal, menebang pohon saja sudah cukup membuat si pelaku diusir dari kampung dan dikeluarkan dari daftar ahli waris. Jika pelaku perusakan hutan yang berasal dari luar masyarakat Desa Tae, setidaknya ada tiga landasan pengenaan hukum adat. Pertama, tidak izin masuk kepada sang empu wilayah. Kedua, menimbulkan kerusakan. Ketiga, meremehkan adat. Hukuman pun bergantung pada penetapan tumenggung adat. Itulah mengapa banyak pohon besar yang bercokol indah di desa yang terletak di kaki Gunung Tiong Kandang. Mereka punya keyakinan kuat atas penggelolaan Tembawang. Mereka hanya boleh menanam ulang tanpa menebang pohon. Puas berkeliling Tembawang, kami melanjutkan perjalanan menuju Kampung Padang untuk melihat air terjun. Sekitar 10 meter tingginya. Sebenarnya, menurut warga setempat, masih ada beberapa air terjun lagi yang lebih indah. Namun, sekali lagi, jarak dan medan Tembawang bukan sekedar tanah rimbun pohon dengan status kepemilikan. Lebih dari itu, Tembawang merupakan simbol kehormatan dan keberadaan masyarakat Dayak Tae. Tembawang ialah warisan yang harus dijaga dengan cara adat. Sebab kehormatan mereka juga ditentukan sejauh mana mereka menaati adat. Pilihannya hanya satu; tepati adat atau tidak punya adat.
“Itu suatu titipan yang tidak bisa kita tinggalkan. Yang saya tahu dari dulu sampai sekarang adalah hutan adat. Siapa pun yang merusak akan dilakukan secara adat,” tegas Anuk. Dahulu, Tembawang ialah kebun masyarakat Dayak saat masyarakat Dayak masih mendiami rumah panjang. Bersama mereka hidup di rumah yang bisa menampung banyak anggota keluarga. Biasanya, di sekitar rumah panjang, mereka berkebun menanam pohon. Kebun inilah yang menjadi cikal-bakal Tembawang. Sekarang saat rumah panjang sudah tidak ada, hanya Tembawang yang menjadi pengingat mereka bahwa mereka berasal dari satu Tembawang. Runutan silsilah asal dan keturunan juga didapati dari Tembawang. “Kalau suku lain punya marga, kami tidak. Kami hanya punya asal Tembawang,” tegas Anuk. “Kalau Tembalang hilang, kita tidak tahu asal kita,” imbuhnya lagi. Bagi masyarakat Dayak Tae, Tembawang bukan sekadar kebun dengan segala isinya. Tembawang dimaknai sebagai penanda identitas sekaligus pengingat dan penyambung tali dengan para leluhur. Pada gilirannya, Tembawang itu akan menjadi penolak dari bencana alam. Sebab sudah terlalu nyata dampak rusaknya hutan terhadap lingkungan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved