Masalah Moral dan Pergulatan Batin

(Abdillah M Marzuqi/M-2)
24/4/2016 00:00
Masalah Moral dan Pergulatan Batin
(DOK WITJAK WIDHI)

LAYAR panggung dibuka dan disusul dengan irama hentak ala musik klub malam. Menghentak dan terus menghentak. Latar panggung begitu sederhana, tapi mengena. Hanya ada 1 meja dan 2 kursi. Di atas meja bertaplak, terdapat wadah minuman dari kaca, sekaligus beberapa gelas diletakkan di sampingnya. Latar itu cukup untuk mengesankan adegan berlaku di sebuah tempat hiburan malam. Seorang pria masuk arena pentas dengan gerak layaknya joget. Ia menggoyang pinggul, menggerakkan tangan, sembari mengangkat salah satu kaki. Ia terus asyik dengan geraknya sampai sesaat ia sadar ada seseorang yang sedang duduk di arah berlawanan. Dari seberang pria pertama, pria duduk tenang dengan kaki disilang. Gelagatnya menunjukkan hal kontras dengan pria pertama.

Dengan muka kalem, ia larut dengan gelas minuman di tangan. Pria pertama terhentak. Mukanya menyuratkan kekagetan. Ia tak sendiri. Lalu obrolan pun terjadi. Mereka berdua berbincang tentang perkara sentuh. Sama-sama menyentuh, tapi dengan cara berbeda. Keduanya menyebut dirinya relawan. Gene berupaya menyentuh orang dengan suara, sedangkan Rob bercerita tentang dirinya yang menyentuh melalui anggota tubuh. Rob ialah relawan yang merawat bayi pengidap AIDS. Obrolan terus berlanjut sampai pada satu dialog. “Cin, mau ngedance?” Lalu tiba-tiba panggung menjadi gelap. Satu naskah telah selesai dipentaskan. Adegan itu bukanlah keseluruhan pentas yang digelar di Teater Salihara, 22-23 April 2016. Masih ada tiga naskah lagi yang menunggu giliran dimainkan dalam pentas The Many Taboos of Being Gay. Gene dan Rob, keduanya ialah lakon dalam naskah berjudul Sweet Hunk O’Trash. Berikutnya ada naskah Twenty Dollar Drinks yang bercerita tentang persaingan politik antara Star dan Bete yang berlangsung terus sampai akhir pertunjukan. Ketiga ialah Frozen Dog yang membingkai masalah moral dan pergulatan batin dalam diri lakon. Keempat, ada Uncle Chick yang membingkai masalah psikologis. Keempat naskah itu mampu dibawakan secara apik oleh para aktor.

Minimalis
Tiap-tiap dari mereka mampu membawakan dialog yang intim dan mengena. Mereka sudah selesai dengan urusan teknik. Setidaknya demikian. Hampir tidak dijumpai perpindahan gerak dan perubahan mimik yang menusuk. Justru sebaliknya, perubahan terjadi dengan lembut. Pentas itu juga sukses menyajikan ragam emosi yang sering kali berpindah cepat dan melonjak. Tentunya dengan kehalusan. Penonton juga tidak akan merasa diombang-ambingkan. Justru penonton dibawa hanyut dengan suasana intim dalam panggung yang dibawa keluar oleh para aktor dan disajikan pada penonton. Panggung pun demikian. Latar dan properti sederhana bahkan cenderung minimalis. Namun, kesan yang muncul ialah elegan, juga senyawa total antara cerita, latar, dan lakon. Menarik untuk memperhatikan pengantar sutradara Eka D Sitorus dalam pengantarnya. “The Many Taboos of Being Gay ialah pentas pementasan teater yang menengahkan masalah sosial, psikologis, moral,
dan politis yang dihadapi para gay. Tidak hanya gay, tetapi juga lesbian, biseksual, dan transgender,” ujar Eka. (Abdillah M Marzuqi/M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya