Headline

Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.

Fokus

Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.

Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah

Ono Sarwono Penyuka wayang
20/6/2021 05:10
Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah
Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

GARENG, Petruk, dan Bagong terbengong-bengong ketika tiba di rumah bapak mereka, Semar, di Dusun Klampisireng, pada suatu siang. Gara-gara di atas pintu utama terpampang semacam spanduk tidak terlalu besar dengan tulisan 'Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah'.

Tidak biasa Semar ‘menghias’ rumahnya seperti itu. Memang ada sejumlah hiasan di ruang tamu berupa ungkapan ajaran nenek moyang semacam, tapi itu semua terpahat pada kayu dengan huruf Jawa yang indah dan terkesan abadi.

Misalnya, ada ungkapan 'Aja Dumeh', yang artinya jangan mentang-mentang. Ada pula 'Ajining Diri Gumantung Ana Lati', harga diri seseorang itu bergantung pada ucapannya. Ada lagi, 'Ngudi Kautaman Kudu Wani Njegur ing Pangorbanan', yang maknanya mencari keutamaan hidup itu mesti berani berkorban.

Ketiga anak Semar itu saling pandang setelah melihat spanduk di atas pintu utama yang tidak biasa itu. Dalam benak mereka sama-sama mencari tahu, kenapa Semar harus memasang ungkapan ‘wasiat’ para leluhur itu. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mereka.

Spanduk itu terpampang sejak awal bulan ini yang merupakan hari lahirnya ideologi Negara Amarta.

“Petruk, bagaimana keluargamu?” tanya Gareng membuka pembicaraan.

“Doa dan pangestumu, Kang, saya sekeluarga sehat. Kang Gareng sekeluarga juga sehat-sehat?” balas Petruk.

“Iya. Sehat semua,” jawab Gareng. “Kamu bagaimana Bagong?”

“Bagas waras semua, Kang,” kata Bagong.

“Tahu nggak, kenapa Bapak memasang spanduk di atas pintu utama itu?” tanya Gareng.

Nggak tahu, Kang. Nanti kita tanyakan kepada Bapak,” ujar Petruk.

“Bapak cuma ingin mencari perhatian saja itu,” kilah Bagong.

“Lo, untuk apa Bapak mencari perhatian Gong (Bagong). Bapak, kan, wong sing wis kaloka ing rat (orang yang sudah terkenal di seluruh dunia),” ujar Petruk.

“Kalau tidak percaya, buktikan saja nanti,” ujar Bagong.

Petruk tersenyum, Gareng pun demikian. Dalam hati Petruk, Bagong kadang-kadang seperti dewa mengejawantah. Omongannya kerap sesukanya, tapi tidak jarang menjadi kenyataan. Seperti ada kecerdasan gaib di balik perilakunya yang tampak dungu.

Obrolan mereka terhenti setelah terdengar suara dehem kecil dari ruang tengah. Sejenak kemudian muncul Semar melangkah santai dan bergabung duduk di lincak. Dewi Kanastren, istri Semar, ikut keluar membawa minuman dan makanan.

“Semua sehat-sehat, ta, le (nak)?” tanya Semar.

“Pangestu Bapak, kami semua sehat,” jawab Petruk yang kemudian disusul Gareng dan Bagong dengan ucapan yang hampir sama.

“Ini tadi lagi ngobrol apa?” ujar Semar.

Bagong langsung menjawab sedang merasani spanduk di atas pintu utama rumah Semar yang tidak biasa. Umumnya, kalau di depan, itu berupa kata penyambutan tamu, misalnya 'Sugeng Rawuh' atau 'Selamat Datang'.

Nggak usah bingung. Saya memajang ungkapan itu karena prihatin terhadap kondisi kebangsaan kita saat ini. Kebetulan ini bertepatan dengan bulan lahirnya ideologi Negara Amarta,” kata Semar.

Gareng, Petruk, dan Bagong mengangguk kecil. Lalu, tanpa dipersilakan, mereka bersama-sama menyeruput wedang serai jahe gula batu yang telah tersaji. Pun mencicipi panganan berkarbohidrat, gembili, ganyong, dan sukun rebus.

“Maksudnya apa, Pak?” tanya Gareng.

Semar menjelaskan ungkapan yang ia pasang itu sindiran sekaligus pengingat terhadap potret kondisi sosial kebangsaan saat ini, yakni rukun agawe santosa, crah agawe bubrah yang bersinonim dengan bersatu teguh, bercerai runtuh.

Menurutnya, warga saat ini sulit rukun dan mudah kisruh. Gampang marah dan berantem, bahkan untuk hal-hal sepele. Pangkalnya karena egois, kepentingan diri, dan kelompoknya. Fitnah dan kebencian-kebencian berhamburan di masyarakat.

Itu semua bibit perpecahan sehingga jika berlarut-larut, berakibat terjadinya disintegrasi bangsa. Karena itu, konteks dengan hari kelahiran ideologi bangsa, setiap warga mesti ingat sebagai bagian dari entitas bangsa. Jadi, rukun itu amat penting.

Warga yang tidak rukun tidak akan menjadi bangsa yang kuat, maju, adil, dan makmur. Energi sesama bangsa jangan dihabiskan untuk saling mencerca dan memusuhi. Sadarilah bahwa bangsa-bangsa lain solid bersatu dan berpacu mengejar kemakmuran.

“Tapi, rukun tidak berarti tidak kritis dan skeptis, ta, Pak?” kata Petruk.

Semar mengingatkan dinamika berbangsa dan bernegara harus tetap berjalan sebagaimana semestinya. Kritik konstruktif dengan segala bentuknya dibutuhkan. Namun, semuanya mesti dilandasi dengan semangat kerukunan nasional.

Tanpa persatuan yang merupakan salah satu sila ideologi negara, bangsa ini tidak bisa mewujudkan sila-sila yang lain. Ideologi yang terdiri dari lima sila itu sesungguhnya satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

“Jadi, ayo kita semua rukun. Bila rukun kita sentosa dan sebaliknya, bila kita terus bertikai, akan membuat kita (negara) bubrah, hancur,” tutur Semar.

“Maaf, Pak. Saya merasakan ada sebagian orang yang diulama-ulamakan karena dinilai memiliki ilmu agama, tetapi kerap mengumbar fitnah di mimbar-mimbar yang merongrong kerukunan. Ini bagaimana, menurut Bapak?” tanya Bagong.

“Semoga mereka segera siuman. Mengerti dan eling perjuangan the founding fathers mempersatukan bangsa dan mendirikan negara ini. Janganlah ngalor-ngidul (di mana-mana) ngoceh semau-maunya tanpa sadar siapa dirinya,” tukas Semar.

“Terima kasih, Pak. Inilah cara Bapak berdemo,” ujar Petruk sambil tersenyum.

“Tapi Bapak kali ini memang nganeh-nganehi (di luar kebiasaan), kok, Kang,” tambah Bagong.

“Ayo rukun… rukun… rukun, le!” pungkas Gareng. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya