Mereka Menciptakan Musik

Jonathan Patrick Andreas Jurusan Jurnalistik, Universitas Padjadjaran
17/4/2016 07:02
Mereka Menciptakan Musik
(DOK JONATHAN)

JAM menunjukkan pukul 18.00 WIB. Alunan instrumen ansambel terdengar gegap gempita di Pusat Perfi lman Haji Usmar Ismail, Kuningan, Jakarta, Sabtu, (19/3). Alunan suara instrumen brass dan perkusi menjadi harmoni yang memanjakan telinga. Ya, Yayasan Alumni Gita Teladan tahun ini kembali menghadirkan Gita Teladan Concert Series (GTCS) III. Peserta dalam GTCS ini duduk di bangku SMP sampai universitas. Mereka memainkan ansambel, teknik bermain musik bersama-sama menggunakan beberapa alat musik dan memainkan lagu dengan aransemen sederhana. Seusai konser, Muda menemui salah satu peserta, yakni Fajar Maulana yang tergabung dalam Gita Teladan Sumbansih Corps. Menurut alumnus Universitas Trisakti itu, GTCS mewadahi anak-anak muda menyelami marching band, tapi ingin mencoba lebih musikal lewat ansambel. “Sebagian besar peserta merupakan komunitas marching band di Indonesia. Meskipun alat musiknya sama dengan ansambel, marching band identik dengan ‘baris berbaris, parade, dan korps musik militer’. Namun, di sini kita sebagai anak marching band ditantang bermain lebih musikal dan menyatu dalam harmoni ansambel instrumen brass dan perkusi,” ujar pemain
tuba itu.

Dari marching band
Muda juga menemui Fiodesy Gemilang Putri yang tergabung dalam Marching Band Waditra Ganesha Institut Teknik Bandung. Baginya, GTCS III menjadi wahana belajar bagi para musikus awam yang menekuni brass dan perkusi. “GTCS membuat kami dapat mengenal lebih detail tentang teknik bermain secara live. Ini merupakan pengalaman yang sangat berguna di karier bermusik nantinya,” kata wanita yang biasa dipanggil Fio itu. Menurut Produser GTCS III, Andreas Manalu, pesatnya perkembangan ansambel di Indonesia ini harus sejalan dengan perkembangan kemampuan anak-anak muda dalam bermusik. “Untuk menjawab tantangan tersebut, kami mengadakan GTCS. Acara ini bisa digunakan sebagai wadah bagi anak-anak muda agar lebih mempertajam kemampuan mereka dalam dunia ansambel,” kata Andreas.

Konser juga kompetisi
Pria yang sering dipanggil dengan Kak Andreas itu mengatakan format acara GTCS tahun depan akan berubah menjadi bentuk kompetisi. Selama tiga tahun, GTCS sudah berhasil menghadirkan sebuah konser yang menjadi wadah bagi anak-anak muda untuk menampilkan keahlian mereka. Akan tetapi, agar lebih memacu anak-anak muda ini, Andreas berencana untuk menjadikan GTCS sebagai ajang kompetisi juga. “Tujuannya ialah agar semua peserta yang ikut kompetisi itu akan berlatih lebih keras lagi untuk meningkatkan kualitas mereka. Saya sangat senang dengan Gita Teladan Concert ini karena anak-anak sangat antusias mengikuti acara,” terang Andreas. Fajar menilai, jika GTCS menjadi sebuah kompetisi, GTCS akan menjadi ajang persaingan yang sangat positif bagi perkembangan ansambel. “Karena untuk bersaing dalam kompetisi tentunya tidak cukup sekedar enak didengar saja, tapi juga diperlukan persiapan, materi lagu, skill, dan eksekusi yang kompetitif pula,” tandas Fajar. Senada dengan Fajar, Fio mengatakan perubahan format dari konser menjadi kompetisi itu merupakan suatu langkah besar. “Tampil di sebuah konser dengan komposisi minim dan akustik ruangan seperti itu sangat berbeda dengan tampil di lapangan marching band pada umumnya, apalagi performanya akan dinilai,” seru Fio.

Mengkreasikan nada
Fajar menilai GTCS ini sedikit banyak telah menjadi salah satu sarana untuk memajukan pendidikan musik di Indonesia, khususnya di bidang instrumen ansambel. Sarana pendidikan musik itu terbukti dengan kehadiran masterclass atau praktik bermain ansambel yang dibimbing langsung oleh musikus profesional sekelas Eric Awuy dan Gabriel Laufer. Eric Awuy, Tutor Coaching Clinic & Guest Star GTCS III, menilai kemampuan peserta di GTCS itu terus meningkat setiap tahun karena GTCS menghadirkan coaching clinic. “Di coaching clinic tahun-tahun sebelumnya, kekurangan peserta itu terletak pada teknik dasar. Kalau tahun ini dasar-dasar itu sudah terpenuhi, jadi dasar-dasar permainannya itu sudah kuat,” terang pria yang lahir di Bern, Swiss, itu. Eric menjelaskan coaching clinic tahun ini lebih membahas interpretasi musik yang mereka ingin mainkan. “Intinya sekarang itu namanya bukan benar atau salah di bagian teknis lagi, melainkan sudah bertujuan membuat suatu karya dari nada-nada yang dimainkan,” ungkap Eric.

Serupa dengan Eric, Gabriel Laufer, Tutor Coaching Clinic & Guest Star GTCS III, juga menilai kemampuan anak-anak muda ini sudah memasuki level profesional. Pria asal Belgia ini mengaku dalam kelas Pit Percussion, mereka tidak lagi harus diajari teknik-teknik dasar. “Setiap tahun teknik-teknik mereka semakin bagus dan saya harus mengajarkan teknik-teknik yang lebih profesional lagi. Suatu kehormatan bagi saya bisa melatih, melihat, dan mendengarkan anak-anak tersebut,” ungkap Gabriel. Gabriel mengatakan, tahun ini ia merasakan aspek musikalitas yang luar biasa dari para peserta. “Saya kagum mereka bisa langsung paham dengan apa yang saya ajarkan. Hebatnya, mereka bisa langsung mengaplikasikannya agar mereka bisa berkembang sebagai musisi profesional,” terang Gabriel.

Gabriel mengungkapkan ia salut pada Andreas Manalu dan Yayasan Alumni Gita Teladan karena bisa membuat acara sekelas ini. “Saya pikir ini merupakan salah satu acara besar di bidang ansambel setiap tahun. Lihat saja motivasi, dedukasi, dan energi yang dihabiskan anak-anak muda untuk mempersiapkan GTCS ini,” kata Gabriel. Fio sangat mengapresiasi Gabriel yang mau menjadi tutor di kelas Pit Percussion untuk anak-anak muda. “Sangat bermanfaat! saya sendiri mendapat kesempatan untuk mencoba teknik bermain yang belum saya kuasai sepenuhnya dan Gabriel mengajarkan kepada saya dengan contoh-contoh yang mudah diikuti. Terima kasih banyak Gabriel,” kata Fio. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya