Menjaga Ekosistem Muller Tetap Hijau

MI/ARIES MUNANDAR
31/5/2015 00:00
Menjaga Ekosistem Muller Tetap Hijau
(MI/ARIES MUNANDAR)
KEGAGALAN berulang kali dialami Sugianto Tamin saat mengokulasi karet. Semua bibit yang diokulasinya mati karena kering dan membusuk.

Namun, bapak dua anak itu tidak patah semangat. Setelah empat kali diulang, eksperimen pengembangbiakan tanaman secara vegetatif dengan menempelkan tunas tanaman ke tanaman lain ini pun berhasil.

Sekitar 75% hasil okulasinya tumbuh menjadi bibit unggul untuk selanjutnya ia tanam di kebun. "Kami belum berpengalaman, sehingga kurang berhati-hati saat menempelkan mata tunas ke batang bawah," kata Tamin saat ditemui pada awal Mei lalu di Desa Tanjung, Kecamatan Mentebah, Kalimantan Barat.

Tamin bersama beberapa warga desa lainnya telah belajar mengokulasi karet dari pelatihan yang difasilitasi WWF Kalimantan Barat. Organisasi konservasi itu menyiapkan pelatih beserta sekitar 9.000 bahan okulasi untuk petani.

Berkat pelatihan tersebut, sebagian besar petani di Desa Tanjung kini mahir dalam mengokulasi karet. "Petani yang ikut pelatihan kemudian mengajarkan ke yang lain. Sekarang rata-rata petani di sini sudah bisa mengokulasi karet sendiri," kata Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Tanjung, Patricius Sabang.

Karet bukan tanaman asing bagi warga Desa yang berada di Kabupaten Kapuas Hulu tersebut. Tanaman itu telah diusahakan secara turun-temurun dan menjadi sumber pendapatan keluarga.

Karet yang dibudidayakan mereka selama ini ialah jenis lokal dan berproduktivitas rendah. Sebagian besar karet warga juga berusia tua dan belum pernah diremajakan.

Oleh sebab itu, petani diperkenalkan dengan bibit unggul, hasil okulasi karet lokal dengan karet jenis PB-26. Jenis ini digunakan sebagai mata tunas atau batang atas karena berproduktivitas tinggi dan cepat menghasilkan.

"PB-26, katanya bisa menghasilkan 3 ons karet per batang sekali toreh. Kalau karet lokal paling banyak hanya 1 ons, malah ada yang cuma 2-3 tetes," jelas Sabang.

Penggunaan bibit unggul perlahan juga mengubah pola penanaman karet di Desa Tanjung. Warga kini mulai familier dengan penggunaan pupuk organik yang diproduksi sendiri untuk tanaman karet mereka. Begitu pula teknik budi daya lain, untuk mendukung pertumbuhan dan produktivitas pohon penghasil lateks tersebut.

"Kalau dahulu jangankan dipupuk, jarak tanam pun sembarangan. Karetnya asal ditanam saja," ujar Kepala Dusun Roban, Desa Tanjung, Petrus Samad.

Merawat hutan
Budi daya karet kembali digalakkan di Desa Tanjung untuk memupus ketergantungan warga terhadap hutan. Usaha perkebunan ini sempat ditelantarkan karena dianggap tidak lagi bisa diandalkan sebagai mata pencarian utama.

Selain produktivitasnya rendah, bahan olahan karet juga terus melorot harganya. Warga pun akhirnya mencari sumber pendapatan alternatif, agar asap dapur terus mengepul.

Sebagian besar mengandalkan bertanam padi di ladang. Sementara sebagian lainnya menambang emas di sungai atau berburu gaharu di hutan dan mencari sarang burung walet di perbukitan. Sistem perladangan dilakukan warga secara ekstensifikasi. Mereka membuka lahan baru di hutan saat musim tanam padi dan berpindah ke lahan lain saat musim tanam berikutnya.

Pola pertanian yang dikenal dengan istilah ladang berpindah ini lambat laun mengancam kelestarian hutan. Aktivitas perladangan warga bahkan merangsek hingga ke hutan lindung.

Dampak kerusakan hutan pun mulai dirasakan warga. Sungai Suruk yang menjadi sumber air bersih mulai menyusut debitnya. Alur sungai itu mengalami pendangkalan lantaran erosi tanah akibat berkurangnya area tangkapan dan resapan air. Krisis air bersih pun menghantui warga Desa Tanjung.

Tidak hanya itu, degradasi sungai juga melumpuhkan jalur transportasi. Sungai tidak bisa lagi dilalui perahu tradisional karena alurnya dangkal. Padahal, angkutan sungai menjadi moda transportasi alternatif karena jalan di Desa Tanjung rusak parah. Kerusakan ekosistem ini juga berimbas terhadap salah satu sumber protein warga.

"Ikan juga susah didapat. Selain debit air menyusut, juga karena banyak yang menuba (meracun ikan) di sungai," ungkap Tamin yang juga Sekretaris Desa Tanjung.

Melihat dampak kerusakan alam itu, warga tidak tinggal diam. Mereka tidak ingin kerusakan tersebut meluas, sehingga mengganggu kelangsungan hidup.

Warga bersama perangkat desa dan pranata adat kemudian berembuk. Berbagai kesepakatan pun dicapai dari permufakatan tersebut. Kesepakatan itu antara lain melarang aktivitas ladang berpindah dan membakar lahan serta meracun ikan di sungai dengan tanaman hutan. Kegiatan meracun ini disebut juga menuba karena kerap menggunakan tanaman tuba.

Selain itu, warga juga dilarang memanfaatkan kayu di hutan untuk kepentingan komersial, tanpa persetujuan dari pemerintah desa. "Karena tidak boleh lagi menebang dan berladang di hutan, alternatifnya kini kembali ke karet," ujar Tamin.

Hutan desa
Kesepakatan warga juga memuat sanksi adat bagi pelanggar. Mereka yang menuba di sungai, misalnya akan dikenai denda sebesar 20 tunggu, atau senilai Rp200 ribu. Denda semakin besar jika ada korban yang sakit akibat terpapar racun tuba tersebut. Penuba atau orang yang menuba wajib menanggung biaya berobat korban.

"Kalau (korban) sampai meninggal dunia, harus digelar upacara adat pati nyawa. Biaya pemakaman juga harus ditanggung (pelaku)," jelas Ketua Adat Desa Tanjung Iskarius Sea.

Kesepakatan yang telah berumur sekitar 10 tahun itu tetap dipegang teguh warga. Sanksinya pun telah menjerat beberapa pelanggar. Aturan itu terbukti efektif untuk menjaga dan mengembalikan keseimbangan alam di Desa Tanjung.

Debit air di Sungai Suruk kembali normal dan tidak pernah mengering walaupun di musim kemarau. Bekas ladang di hutan pun perlahan menghijau kembali, karena ditanami karet dan berbagai jenis tanaman lokal. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya