Rona Asia untuk Sehari-hari

Siti Retno Wulandari
31/5/2015 00:00
Rona Asia untuk Sehari-hari
(MI/Arya Manggala)
OSCAR Lawalata dan kain-kain adati sudah seperti tidak bisa dipi sahkan. Beberapa tahun ini sudah beragam kain dan busana tradisional ia kembangkan dan olah. Sebut saja kain tenun Nusa Tenggara Timur (NTT), songket Bali, batik, dan berbagai jenis kebaya.

Ketika Oscar tampil di Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) 2015, ekspektasi akan karya adati lainnya muncul. Pada pe ragaan yang berlangsung Senin (25/5) di Kelapa Gading, Jakarta Utara, ekspektasi itu terjawab oleh busana bersiluet mirip baju bodo Makassar dan ke baya encim.

Sebuah gaun berwarna oranye diberi sedikit aplika si bordir di bagian kerah, sedangkan lipitan di be berapa bagian memben tuk gaun menjadi tidak polos. Detail-detail itu membuat gaun terlihat asimetris pada bagian badan, teta pi garis besar ran cangan gaun terse but persis se perti baju bodo dari Makassar.

Di sisi lain, seperti karakternya selama ini, desainer berusia 37 tahun itu membuat modifikasi hingga busana tersebut menjadi lebih muda, modern, luwes, tetapi tetap elegan. Itu salah satunya disebabkan penambahan detail kerah.

Kerah tersebut tidak dibuat penuh, tetapi hanya pada lingkar belakang hingga sisi kanan dan kiri leher. Dengan begitu, kesan luwes baju bodo tetap terlihat. Kerah itu pun makin cantik dengan detail bordir. Detail yang sama juga terlihat pada pinggiran lengan. Tidak hanya itu, Oscar juga membuat modifikasi dengan gaya mullet pada blus atau gaun. Terdapat pula kerutan dan lipitan yang membuat bervolume.

Pada beberapa busana, Oscar menambahkan aksen obi yang juga berbordir hingga lebih membentuk pinggang. Sementara itu, siluet mirip kebaya encim hadir lewat blus tanpa lengan dan bergaris leher `V' cekung. Koleksi itu didominasi warnawarni cerah hingga cocok untuk acara cocktail ataupun acara kongko sehari-hari.

“Ada kemiripan satu sama lain pada baju atau kostum dari budaya Asia. Bagaimana sebuah kain bisa dijadikan busana sehari-hari. Bentuk lekuk busana masih tetap terinspirasi dari Indonesia, seperti kebaya, baju kurung, dan lainnya,“ ujar Oscar seusai melakukan konferensi pers atas koleksi yang bertajuk My Name is Asia ini.

Desainer anggota Ikatan Perancang Mode Indonesia (IPMI) itu menampilkan 40 koleksi yang telah dipersiapkannya selama kurang lebih lima bulan.Meskipun mengambil konsep dan keragaman Asia secara keseluruhan, material dan siluet Oscar tetap mengedepankan unsur Indonesia.

Hanya, pada motif, seperti flora dan burung, putra sulung aktris Reggy Lawalata itu memasukkan unsur Tiongkok yang memang dekat dengan budaya Indonesia. Berkolaborasi dengan perajin masih dia lakoni untuk mendapatkan tenun sutra yang masih berasal dari alat bukan mesin.

“Saya gunakan embroidery dan sulam dengan tangan, ini juga sebagai langkah untuk menarik kembali para perajin kita dari Tasikmalaya ataupun Jawa Tengah karena sekarang ini kan lebih banyak pakai digital. Saya mau kembalikan nilai tersebut sebagai cerminan nilai budaya Indonesia,“ tukas Oscar.

Kain negeri

Koleksi berunsur adati juga dibuat Yongki Budisutisna. Namun, koleksi dengan perpaduan kain batik Cirebon, tenun Bali, dan songket itu berkarak ter lebih playful dengan warna-warna cerah.

Siluet `A' mendominasi delapan koleksi yang dipresentasikan bersama dengan lima desainer lainnya. Atasan tanpa lengan dengan paduan fuschia dan emas bersiluet sedikit ramping dipadankan dengan rok bersiluet gaun gala warna senada. Potongan lainnya hadir dalam siluet sweter yang dipadankan dengan rok lipit pendek.

Dengan pilihan yang sama, Danny Satriadi juga mengangkat batik Cirebon dengan menambahkan motif bunga aster menjadi motif kawung dan truntum yang mengandung filosofi panjang umur dan kesucian. Motif khas Cirebon seperti bunga dan burung pun tidak hilang.

Salah satu koleksinya yang menarik ialah busana jaket crop biru dengan blus salem yang dipadukan dengan rok asimetris warna biru muda.

Masih seperti koleksinya beberapa waktu lalu, Tri Handoko menampilkan 10 koleksi dengan warna monokromatik. Ia tidak bekerja sama dengan perajin, tetapi membuat sendiri jumputan (tie dye). Beberapa di antara kain itu diterapkan dengan teknik batik. Untuk siluet, Tri masih memilih siluet longgar dan baggy. Ada pula busanabusana luaran (outer) lengan pendek yang dipadankan dengan celana berpotongan besar. “Saya campur dengan teknik melukis, sentuhannya modern dan bisa dipakai kapan pun.“

Desainer IPMI lainnya, Carmanita, memilih mengambil kain Majalaya, Jawa Barat. Kain tersebut memiliki kekhasan benang-benang di bagian luar.Kain itu kemudian dipadankan dengan kain Ujung Pandang. “Saya ingin kain-kain kekayaan bangsa dapat lebih dicintai dengan pemakaian sehari-hari,“ ungkap Carmanita.

Desainer lain yang ambil bagian dalam rangkaian peragaan itu ialah Liliana Lim dan Yogie Pratama. Liliana mengemas tenun ikat Bali dalam siluet coktail dengan padanan bahan brokat. Sementara itu, Yogie mengambil songket Palembang dan menjadikannya dalam busana modern seperti dalam potongan blus crop. (M-3)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya