Gowes Impian di Maluku

Boy Noya, Jurnalis Metro TV
31/5/2015 00:00
Gowes Impian di Maluku
(Dok. Boy Noya)
TAS-TAS besar ini merupakan tantangan pertama kami saat tiba di Ambon, Maluku. Di dalamnya ada sepeda yang kami bawa dari Jakarta untuk menjelajahi kepulauan eksotis itu.

Rasa kantuk sisa penerbangan malam dengan Garuda masih ada, tetapi kami tidak punya banyak waktu untuk istirahat. Kamis (14/5) pagi itu, di Hotel Amaris, Kota Ambon, saya dan 24 kawan lain sesama anggota komunitas sepeda Senang Foto (Sefo) harus cepat merakit sepeda.

Sorenya, kami sudah harus tiba di Tulehu, yang terletak sekitar 27 km di timur Kota Ambon. Dengan adrenalin yang terpompa, kantuk pun terkalahkan oleh gairah. Bahkan, saat akhirnya kami mulai mengayuh sepeda, rintik hujan terasa menambah semangat.

Kami meluncur meninggalkan kota diiringi pemandangan cantik Teluk Ambon di sebelah kiri. Baru tiga hari ke depan kami akan bersua dengannya lagi.

Perjalanan menjelajah Pulau Ambon dan Pulau Seram itu merupakan sebuah tantangan baru bagi kami. Perjalanan itu lahir setelah tur sepeda ke Sumatra Utara, Bromo, Bali, dan Manado sukses terlaksana. Ekspedisi ke wilayah jauh memang obsesi dari para penggemar atau komunitas bersepeda, termasuk kami, para goweser paruh baya.

Maluku menjadi pilihan kami karena kepulauan itu belum banyak menjadi tujuan para goweser. Bahkan, dikabarkan belum ada satu pun komunitas sepeda yang melakukan perjalanan dari Ambon ke Pantai Ora di Pulau Seram itu. Pantai yang terletak di Seram utara itu merupakan tujuan wisata kelas dunia.

Namun, perjuangan yang harus kami lalui tidaklah mudah. Ada jarak ratusan kilometer yang harus kami tempuh, termasuk 30 km di antaranya ialah rute dengan kontur naik turun.

Meski begitu, seperti nama perkumpulan kami, seberapa pun beratnya medan, kami selalu mengemasnya dengan asyik berfoto dan berpetualangan kuliner. Di etape pertama itu, kami istirahat makan siang dengan sajian ikan bakar, sop ikan, dan sambal dabu-dabu. Kami juga sempat mampir di Pantai Natsepa untuk mencicipi rujaknya yang kondang itu.

Dengan energi yang telah diisi, rombongan akhirnya sampai di Pelabuhan Tulehu sebelum pukul 16.00 WIT. Setelah perjalanan dengan kapal cepat selama dua jam, kami mengakhiri hari itu di Masohi.Di hari kedua (15/5), hujan masih mengiringi kayuhan kami. Rute panjang, yakni 90 km, terhampar di depan dengan tujuan finis Pantai Ora.

Tiga puluh kilometer pertama rombongan melahap dengan mudah karena jalan memang mulus dan datar. Tiba di Desa Waipia, kami beristirahat sejenak sekaligus memuaskan hobi foto sebelum menghadapi rute berat.

Di rute penuh tanjakan dan kelokan itu, rombongan Sefo mulai terpecah menjadi beberapa kelompok. Kelompok terdepan ialah mereka yang memang sudah terlatih melalap medan tanjakan dan memiliki stamina yang prima. Ada sembilan pesepeda perempuan yang ikut tur saat itu. Sisanya ialah laki-laki yang mayoritas telah berusia 40 tahun ke atas.

Lebatnya hutan, serta jurang dan tebing yang curam bergantian menjadi pemandangan bagi kami. Tidak ada desa yang kami temui di rute itu. Begitu juga lalu lalang kendaraan yang hanya bisa dihitung dengan jari. Sebab itu, pasokan minuman dan makanan kami harus didukung dengan empat kendaraan minibus yang sekaligus menjadi pengawal.

Memasuki kilometer ke-70, energi sudah mulai terkuras. Bagi yang sudah menyerah, harus rela dievakuasi, sedangkan yang lain masih terus menggedor mental dan fisik untuk sampai di Desa Saleman yang menjadi pos terakhir etape itu.

Alhasil, dari 25 peserta, hanya lima yang sukses mencapai finis tanpa dievakuasi. Pukul 16.00 WIT, semua peserta tiba di Saleman dan keletihan kami dibayar pesona Pantai Ora yang sudah terlihat di kejauhan. Kami pun serempak berseru, "Indahnya Pantai Ora!"

Untuk mencapai pantai dengan laut biru jernih dan ombak tenang itu, kami harus menaiki perahu, sedangkan sepeda kami dititipkan di Desa Saleman. Terdapat tujuh bungalow dan delapan vila pantai yang siap menyambut wisatawan di Ora.

Kami pun bisa mengerti alasan banyak turis dunia terpikat di daerah itu. Di sana kita bisa puas bermain air, snorkeling, dan tentu saja mengabadikan diri lewat foto bersanding pemandangan mengagumkan.

Karang warna-warni dan ikan-ikan eksotis bahkan sudah bisa ditemui di bawah dermaga dan bungalow. Kita berenang hingga jarak 700 meter pun tetap terasa nyaman karena arus yang begitu tenang. Itu pula yang kami lakukan pada sore menjelang matahari terbenam dan juga keesokan harinya.

Sayang, pukul 10.00 WIT, kami sudah harus meninggalkan Ora karena harus mengejar kapal cepat untuk pulang ke Ambon. Kami kembali ke Desa Saleman. Selain mengambil sepeda, kami menyempatkan memberi bantuan bagi perbaikan musala di desa itu dan bantuan buku bacaan anak.

Duta Ambon
Dari Saleman, perjalanan kami tidak lagi menggunakan sepeda. Kami meng­istirahatkan kaki dan menikmati pesona Maluku dengan lebih santai.

Kembali ke Kota Ambon, Kedai Kopi Yoas yang sangat terkenal pun tidak kami lewatkan. Pantas jika kopi itu layaknya starbucks dari timur karena sangat nikmat, malah jauh lebih eksotis karena berteman pisang dan sukun goreng.

Di Kota Ambon pula rombongan Sefo diterima Wali Kota Richard Louhenapessy beserta jajarannya. "Saya berharap Sefo menjadi ambasador yang menceritakan Ambon yang tidak lagi seperti 16 tahun lalu ketika terjadi kerusuhan berbau SARA," tutur Richard.

Kami menyaksikan sendiri keindahan dan keramahan Ambon. Rombongan Sefo tentu saja merasa siap dengan tantangan wali kota.

Ambon dan juga wilayah lain di Maluku ialah surga bagi mereka para petualang alam, kuliner, dan tentunya adrenalin. Pengalaman wisata yang komplit itu bahkan bisa menjadi ikon negeri karena dibalut pula dengan keunikan budaya.
Tidak berlebihan jika Ambon mangante, atau berarti berkunjung (visit) Ambon, layak masuk daftar wajib para pelancong. Sefo sudah membuktikannya, saatnya giliran anda! (M-3)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya