GARIS vertikal dan horizontal berpadu dengan garis meliuk bagai semburan api naga. Degradasi warna primer sengaja disandingkan dengan campuran percikan warna cemerlang. Tidak ada bentuk objek secara jelas, tetapi di balik itu ada rahasia batin tersaji.
Beberapa garis tampak seperti bulu-bulu angsa. Namun, itu tidak berbarengan sehingga terkesan ada energi-energi spiritual. Pergolakan batin pun menjadi imaji-imaji atas kenangan yang tersuguhkan lewat karya abstrak.
Desiran spirit itu terlihat pada karya pelukis Yoyok Soenaryo berjudul Spiritual (135x135 cm) pada pameran bersama kelompok Perupa Alim Solo bertajuk Citra Solo di Balai Budaya, Jl Gereja Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, pertengahan pekan ini.
Pelukis kelahiran Yogyakarta, 22 September 1943 itu tidak sekadar menghadirkan absurditas. Namun, ada semacam energi-energi puitis. Ia bingkai lewat gaya abstrak yang ia geluti sejak awal 1970 hingga hari ini.
"Abstrak ini memberikan saya spirit Âuntuk bisa memaknai kehidupan yang saya jalankan. Saya sempat vakum melukis pada 1975-1985 karena tuntutan ekonomi. Saat itu, saya beralih profesi ke periklanan rokok," ujar Yoyok, di sela-sela pameran.
Memerhatikan pameran Citra Solo itu, kita bisa membaca peta perkembangan seni rupa terkini dari daerah asal Presiden Joko Widodo, itu. Para perupa menghadirkan tiga tema utama, yaitu tradisi, kontemporer, dan eksperimental.
Selain Yoyok, lelaki alumnus SSRI dan ASRI Yogyakarta (1965-1970) itu, ada 22 pelukis lainnya yang turut berpameran. Mereka antara lain G Munis, Wiet Senjayani, Suhardjija Pudjanadi, Joko Prasetyo, ÂHendro Sucahyo, Jaya Adi, Kamiran Supriyadi, Kawit Kristanto, Nur Ali, Sentot T Raharjo, GM Sudarta, dan Setyo Sudhiarto.
Karya Wiet berjudul Kami Bukan Satu-satunya (140x120 cm) memberikan gambarÂan tentang bangsa ini. Dalam obyek lukisan bercat minyak di atas kanvas, tampak para pelajar berseragam putih-biru dan putih-merah, sedang menyeberangi jembatan gantung yang talinya hampir koyak.
Unsur realisme sosial menjadi penting bagi Wiet. Dengan pengalaman, memberi Âpesan agar pemerintah melihat Âinfrastruktur Âjembatan yang ada di Âdaerah-daerah Âpelosok. Wiet, pernah menempuh pendidikan di Escuela Centro de Danza, Madrid, Spanyol, (1976-1977), Âtetap konsisten. Ia menghadirkan persoalan Âpendidikan yang dibungkus lewat karya seni.
Tema-tema sosial juga begitu kuat. Sebut saja Kapan Sampai (100x100 cm) karya Joko. Ia lihai menghadirkan para pekerja Âserabutan lewat obyek yang ada di karya tersebut. Latar belakang perempuan tua berkebaya yang sedang duduk di samping bakulnya memberikan makna. Si perempuan merupakan pekerja keras.
Politik Pameran ini tidak mengusung tema tertentu. Karya-karya pun seakan berbicara sendiri-sendiri. Tema masih belum berfokus pada topik atau persoalan kolektif. Sedikit dangkal dan melebar temanya sehingga terasa hambar.
Untung, masih ada karya, yang mengusung pergolakan hak asasi manusia (HAM), cukup kuat. Semisal, pelukis Suhardjija lewat karya berjudul Wiji Thukul, Penyair yang Hilang (95x95 cm).
Dalam karya ini tampak wajah Wiji Âsedang menatap kosong ke depan. Di sisi kanannya, ada sepenggal puisi yang Âberbunyi; Puisiku bukan puisi/tapi kata-kata gelap/yang berkeringat dan berdesakan/mencari jalan//ia tak mati-mati/meski bola mataku diganti/ia tak mati-mati.
Tentu saja, Suhardjija, pelukis kelahiran Yogyakarta, 6 Juli 1939, itu tidak sekadar menghadirkan obyek Wiji. Ia memberi pesan agar ketidakadilan atas pelanggaran HAM dapat diselesaikan dan dituntaskan pemerintah.
Lewat pameran ini, kelompok Perupa Alim Solo Raya tak hanya mengkritisi, tetapi menampilkan persoalan sosial. Para Âseniman membawa solidaritas demi Âeksistensi dalam jagat seni rupa nasional.
Mereka bukan orang alim dan suci. ÂMereka hanya ingin menjadi saksi sejarah bangsa lewat sapuan kuas di atas kanvas. (Iwan J Kurniawan/M-6)