Imam Bonjol dan Dusta Belanda

Iwan J Kurniawan
31/5/2015 00:00
Imam Bonjol dan Dusta Belanda
(Dok. Teater Indonesia)
PERKAMPUNGAN Bonjol yang sepi, asri, dan mistis, tampak sepi. Rumah-rumah gadang beratap jerami, surau, dan balai adat, menjadi tempat pertemuan Imam Bonjol dengan para pengikutnya sehari-hari.

Suasana agamais juga begitu terasa dengan entitas kultur Minangkabau. Latar belakang sejarah yang mengambil kisah tentang kaum ulama yang berseberangan dengan kaum adat, tersaji apik. Ada penistaan, pendustaan, dan pengkhianatan atas kaum perjuangan.

Menyaksikan drama musikal Tuanku Imam Bonjol suguhan Komunitas Satujuan garapan sutradara muda Jhon Dhevillhe di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini, memberikan gambaran tentang nilai-nilai kepahlawanan.

"Patriotisme dan heroisme Imam Bonjol melawan penjajah telah tercatat dalam sejarah. Ini kami angkat agar semangat nasionalisme tumbuh kembali di generasi kini," ucap Jhon seusai pementasan.

Drama musikal selama dua jam memang menggabungkan antara laku, tari kreasi, dan musik. Semuanya bercita rasa budaya Minangkabau. Ini membuat suasana di gedung pertunjukan membuat kita yang menonton seolah-olah berada di Sumatra Barat, tempo lalu.

Perjuangan Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Sahab (1772-1864) memang tidak secara utuh tersaji sebagai sebuah kolosal. Hanya petilan-petilan penting lewat drama kali ini. Imam Bonjol (diperankan Afrida) begitu arif, agamais, dan penyayang keluarga. Ia harus dikucilkan kaum adat sendiri.

Tuanku Tambusai (Patrizas), Datuk Bandaro (Desmal Mendri) merupakan nama-nama tokoh yang menghiasi sejarah era itu. Begitu pula dengan Kumalo Ameh (Heby), istri Imam Bonjol. Pada pentas ini, hubungan Imam Bonjol dengan Kumalo Ameh amat bahagia.

Istri tercintanya pun kerap mendukung dalam pergerakan. Sayang, Kumalo Ameh merupakan perempuan yang menjunjung tinggi adat-istiadat.

Itu membuatnya begitu dilema saat mendapati Imam Bonjol melakukan perlawanan kepada kaum adat Datuk Bandaro yang diadu domba Belanda secara licik.

Benang merah drama musikal Tuanku Imam Bonjol menghadirkan perspektif historis. Hasilnya suguhan utuh. Apalagi, kehadiran Jenderal Belanda (Nicko) memberikan pengaruh yang luar biasa atas kebinasaan yang dialami warga setempat.

Penangkapan
Jenderal Belanda masuk dari sisi kiri. Sebuah pistol menancap di sisi pinggangnya. Ia tampak gusar. Pasalnya, para pengikut setia Imam Bonjol sudah melakukan perlawanan di berbagai pelosok. Kekisruhan itu membuat jenderal Belanda angkat bicara. Ia pun memerintahkan para opas segera menangkap Imam Bonjol.

Apalagi, pemimpin di Jawa, Sentot Ali Basyah (Oyong Piyal), merasa dipermainkan Belanda. Sentot yang awalnya diadu domba, akhirnya legowo dan memutuskan bersekutu bersama Imam Bonjol.

Perintah untuk menangkap Imam Bonjol membuat gempar. Para pengikut setianya juga mulai merancang strategi untuk bisa melawan kekuatan Belanda. Tentu saja, itu menjadi pengorbanan yang berapi-api.

Dalam catatan sejarah, pada 1821, perang saudara antara kaum Paderi yang ­ingin melaksanakan ajaran agama dengan baik--ditopang para ulama--melawan kaum adat yang didukung Belanda, berkobar kembali. Peperangan ini sebenarnya terjadi karena politik adu domba yang diterapkan Belanda untuk menguasai Sumatra Barat.

Imam Bonjol memimpin pasukannya untuk menghadapi Belanda. Perlawanan sengit membuat Belanda kewalahan. Belanda kemudian terpaksa mengadakan perjanjian damai pada 1824 yang dikenal sebagai Perjanjian Masang.

Namun, itu tidak bertahan lama. Belanda melanggar perjanjian itu. Dalam drama musikal ini, Imam Bonjol pun ditangkap. Ia pun diasingkan dan dibuang ke Cianjur, Ambon, dan akhirnya dipindahkan ke Lotan, Manado.

Sayang, kematian Imam Bonjol di tempat pengasingan terakhir tidak begitu kuat tersaji dalam pertunjukan itu. Hanya ada beberapa simbol, yaitu berupa para penari sedang membawa kain. Itu diibaratkan keranda.

Tidak ada suguhan drama realisme sebagaimana pertunjukan utuh pada pementasan ini. Sutradara hanya bermain aman lewat perpaduan musik, tari, dan laku. Kisah Imam Bonjol tentang pergerakan belum tersaji utuh. Meski begitu, sejarah mencatat, pemikiran kebangsaan dan pergerakan Imam Bonjol dalam melawan kolonialisme begitu kuat. Nama besarnya akan selalu harum. (M-6)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya