PERAYAAN hari-hari besar keagamaan menjadi penting bagi setiap umat yang merayakannya. Perayaan itu bisa digelar bersama keluarga, orang-orang di lingkungan tertentu, dan teman sejawat. Kini, ada perayaan terpenting bagi umat Buddha di Indonesia, yaitu Waisak.
Perayaan keagamaan terbesar umat Buddha itu jatuh pada 2 Juni. Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) pun sudah mematangkan persiapan lewat berbagai kegiatan bakti sosial yang digelar di berbagai daerah. Perayaan puncak pun akan difokuskan di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.
Bila kita cermati, Waisak mengandung empat sikap batin luhur yang diajarkan Sang Buddha dalam Brahma Vihara. Keempatnya yaitu cinta kasih (metta), welas asih (karuna), turut berbahagi, empati, dan simpati (mudita), serta keseimbangan batin (upekkha).
Sikap batin seperti itu sangat penting. Apalagi, bangsa Indonesia dilahirkan sebagai bangsa yang majemuk dengan keragaman etnik, suku, agama, bahasa, budaya, dan identitas yang lain. Ini membuat Indonesia menjadi negara yang harus dijaga bersama.
Sebagai bentuk cinta kasih, pihak Walubi telah menggelar kegiatan di Jakarta seperti menyelenggarakan bakti sosial di Taman Makam Pahlawan, bakti sosial pengobatan massal, dan donor darah. Kegiatan ini sebagai bentuk rasa cinta kasih sehingga bisa menjaga hubungan antarsesama manusia, ujar Arief Harson, perwakilan Walubi, di Jakarta, pekan lalu.
Terlepas dari kegiatan sosial yang dilakukan, makna penting Hari Raya Waisak sangat erat dengan tiga peristiwa agung yang terjadi pada kehidupan Siddhartha Gautama, sekitar 2.600 tahun silam. Pertama yaitu Bodhisattva (calon Buddha) yang bernama Pangeran Gautama Buddha dilahirkan di Taman Lumbini, Nepal, pada 623 SM. Kedua, Pangeran Siddharta, yang kemudian menjadi petapa di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, India, mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha pada 588 SM di usia 35 tahun. Dan, ketiga, sesudah 45 tahun lamanya memberi bimbingan darma kepada para dewa dan manusia, Sang Buddha wafat pada 543 SM.
Hidup damai Tak dimungkiri, Waisak menjadi perayaan terpenting dalam kalender Buddha dan dirayakan umat Buddha di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pada umumnya, umat Buddha akan mengikuti upacara tiga mustika suci: Sang Buddha, darma (ajaran-Nya), dan sangha (umat-Nya).
Biasanya, umat Buddha membawa persembahan sederhana berupa bunga, lilin, dan dupa yang akan ditaruh di kaki biksu-biksu mereka. Persembahan simbolis itu dimaksudkan untuk mengingatkan umat bahwa hidup juga akan musnah dan hancur, sama seperti persembahan yang akan habis terbakar atau layu.
Beberapa wihara yang saya pantau pada Kamis (28/5), misalnya, tampak sibuk dengan berbagai kegiatan. Wihara Mahavira di kawasan Jakarta Utara, misalnya, juga tengah mempersiapkan kegiatan religius untuk perayaan pada 2 Juni mendatang. Begitu pula dengan kegiatan di DPP Walubi Pusat di Jakarta Pusat. Tampak para petugas sudah mempersiapkan berbagai hal untuk menyukseskan perayaan puncak di Borobudur.
Umat Buddha percaya bahwa tindakan yang baik pada Hari Raya Waisak akan memberi berkat berkali-kali lipat. Tak mengherankan, pemuda umat Buddha telah mengadakan acara donor darah di beberapa rumah sakit. Ritual yang umum dilakukan pada puncak Waisak antara lain pembacaan mantra-mantra, pelepasan burung dan hewan yang dikurung, makan makanan vegetarian, dan 'memandikan' patung Buddha, sebuah lambang akan legenda Sang Buddha yang dimandikan dari sembilan naga segera setelah kelahiran-Nya.
Komunitas Buddha di Tanah Air pun terdiri dari beberapa aliran. Masing-masing mempunyai ritual yang berbeda-beda untuk merayakan hari raya ini. Aliran Mahayana atau 'Jalan Besar' terdiri dari etnik Tionghoa.
Ajaran utama Buddha Mahayana ialah bahwa Nirwana dapat dicapai bukan hanya melalui pengamalan diri tetapi juga dapat melalui bantuan bodhisattva atau 'yang dicerahkan'. Salah satu bodhisattva yang banyak dipuja ialah Dewi Guanyin, sang Dewi Welas Asih.
Keberadaan umat Buddha di Indonesia tetap menjaga kebinekaan agama dan kehidupan bersama yang damai. Bahkan saat terjadi pengungsian etnik Rohingya di Aceh baru-baru ini, Walubi pun ikut mendukung agar pemerintah tetap memberikan tempat bagi para pengungsi tersebut.
Umat percaya bahwa perihal kemanusiaan menjadi tujuan utama. Itu bisa ditemukan lewat ajaran Buddha bahwa semua agama harus berada di mana-mana karena semua agama mengajarkan pengendalian diri dan kemurnian hati. Itu tertulis lewat Fatwa Raja Ashoka, 269-232 SM.
Tokoh agama Buddha, Suhadi Sendjaja, dalam sebuah diskusi pernah memberikan pandangan luasnya tentang keberadaan agama di zaman sekarang. Ia menilai agama baru sekarang ialah 'gadget'. Bila ketinggalan sembahyang, enggak balik. Namun, yang ketinggalan gadget, maka kita balik lagi (untuk mengambil), ucapnya, sopan.
Kini lewat perayaan Waisak, umat Buddha pun merasa perlu untuk ikut menjaga keselarasan hidup terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memang multikultural. Sejatinya setiap umat beragama harus tetap saling bahu-membahu dalam menjaga dan menjunjung tinggi hidup bertoleransi. Saya percaya tidak ada agama yang salah. Yang salah, yaitu kita tidak membuka diri dan memahami agama yang kita anut sendiri, jelas Suhadi. (M-2)