Wamena,Kontras yang Memesona

TERBANG lebih dari delapan jam dengan kemungkinan transit di dua bandara, sebelum menumpang pesawat baling-baling dari Jayapura, terbayar sudah ketika kaki menginjak tanah Wamena, Papua. Pun, ongkos transportasi dan akomodasi di atas rata-rata karena kabupaten ini hanya terhubung lewat udara dengan wilayah lainnya, sepadan dengan suguhan panorama, kultur, dan hangatnya persahabatan suku Dani, Yali, dan Lani, penduduk asli di sana.

Perjalanan Mahakarya Indonesia, yang saya ikuti bersama para jurnalis, bloger, sejarawan, dan praktisi kesenian, membuktikan Indonesia memang penuh warna. Untaian keragaman warna kulit, bahasa, kultur, agama, serta kepercayaan itulah yang membuat Indonesia kaya. Warga Wamena, seperti juga di belahan Nusantara lainnya, menggubah potensi alam dan kearifan lokal menjadi karya-karya luar biasa.

Di lembah Wamena, yang kasatmata memang perwujudan budaya sederhana dengan tingkat peradaban yang timpang dengan wilayah Indonesia lainnya. Namun, dengan menghabiskan waktu lima hari di sana, saya menemukan bahwa warna yang kontras itu tak kalah istimewa.
Makin masuk ke Honai, rumah mereka yang terbuat dalam balok-balok kayu dan rumput ilalang, dengan mengikuti upacara pembuatan garam di puncak bukit Kurulu, melihat simulasi perang suku, tradisi bakar batu, serta bertemu kepala suku Yali Mabel di Desa Anemaugi, hormat saya pada mereka kian dalam.