MENJADI ibu bagi Erika tampaknya menjadi ladang pembelajaran tanpa henti bagi Marjam Rudijanto. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu juga menjadi sumber inspirasi bagi Marjam.
Sebelum menerbitkan Beauty in Silence, dia pernah menulis kisah Erika dalam buku berjudul Indah pada Waktunya yang juga terbit dalam versi bahasa Inggris berjudul Beautiful in His Time.
Buku pertamanya itu lebih berbentuk novel yang mengisahkan perjalanan dirinya sebagai ibu, mendampingi Erika selama 21 tahun hidupnya.
Sementara itu, di Beauty in Silence, Marjam sudah lebih mampu menyimpulkan kiat-kiat yang bisa memandu pembaca dengan anak berkebutuhan khusus, termasuk di antaranya ialah saran untuk selalu berusaha hadir secara fisik, memberikan ekspresi tubuh dan mimik muka yang nyata, serta memberikan pandangan mata yang fokus menatap mata anak untuk memulai kontak sosial.
Ada pula saran untuk mengganti dekorasi rumah setiap minggu dengan berbagai gambar, demi menstimulasi pengetahuan anak lewat penglihatannya.
Tak hanya itu, dengan jujur, dia pun menuangkan berbagai konflik kompleks yang terjadi antara dirinya dan Erika ketika menginjak usia remaja yang mencari jati diri.
Dengan menghadirkan buku keduanya sekarang, Marjam mengaku gelisah dengan keadaan yang semakin tidak kondusif bagi anak tunarungu di Tanah Air.
Kembali dari 15 tahun tinggal di Singapura (1993-2008), dia melihat masalah tunarungu di Indonesia justru makin bervariasi dan makin dalam.
Berbagai persoalan sosial yang terjadi menambah beban orangtua untuk menanamkan moral kepada anaknya, terutama dengan semakin terpaparnya tunarungu dengan teknologi komunikasi yang memberikan akses informasi tanpa batas.
"Padahal, mengajarkan konsep moral yang agak abstrak itu sulitnya bukan main, kalau ke anak yang tidak bisa mendengar," ujarnya.
Di Indonesia, keberadaan anak berkebutuhan khusus dalam keluarga kerap berujung perceraian kedua orangtua.
Kisah hidup Marjam, Rudi, dan ketiga anaknya menawarkan teladan yang baik bagaimana keluarga menghadapi masalah bersama.
"Saat saya 'down', suami saya toleransi, begitu sebaliknya. Ada banyak keputusan yang saya tidak pernah mantap, Rudi (suaminya) juga. Tapi, kalau kita sudah putuskan, jangan melihat ke belakang lagi," ungkapnya.
Buku Beauty in Silence rencananya akan diikuti oleh buku ketiga.
Bagi Marjam yang saat ini menjadi psikolog SLB/B Pangudi Luhur Jakarta dan staf pengajar PSIBK (Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, masih banyak hal terkait dengan hak tunarungu yang perlu diperjuangkan, masih banyak orangtua dan masyarakat yang mungkin bingung memperlakukan tunarungu.
Karena itu, dia masih ingin menuliskan semua yang ia tahu berdasarkan pengalaman yang telah dilaluinya hingga Erika dewasa dan kini menjalani biduk rumah tangga. (Her/M-2)