Membahasakan Dunia Senyap Tunarungu

MI/HERA KHAERANI
24/5/2015 00:00
Membahasakan Dunia Senyap Tunarungu
(MI/ARYA MANGGALA)
SEMULA semuanya tampak biasa saja, Erika Levi lahir dengan selamat pada 29 Oktober 1988. Anggota tubuhnya lengkap sempurna, tentu saja hal itu disambut gembira seluruh anggota keluarga.

Sejak usia tiga bulan, Erika kecil mulai mampu duduk dengan bantuan. Dia mulai mengoceh di usia enam bulan dan berjalan ketika menginjak setahun. Anehnya, setelah setahun berlalu, ocehannya tidak berkembang menjadi kata atau frasa yang memiliki arti.

Marjam Rudijanto, ibunya, mulai merasa ada hal yang tidak benar dari perkembangan putri bungsunya itu. Beberapa kali dipanggil namanya, Erika tidak menoleh ke arah suara. Meski sudah dibayangi kekhawatiran, Marjam dan suaminya Rudijanto Gunawan, berupaya menepisnya. Mereka memilih berprasangka baik, mengira anaknya itu memang berkarakter cuek sehingga tidak menengok saat dipanggil.

Tapi, kekhawatiran itu tidak lagi bisa diabaikan ketika suatu hari sepulang kerja, Marjam berusaha menarik perhatian Erika yang sedang duduk di teras depan rumah. "Saya membunyikan klakson mobil yang saya tumpangi beberapa kali, dan alangkah kagetnya karena Erika tidak bergeming sedikit pun," kisah Marjam.

Usia Erika 20 bulan ketika dibawa ke dokter ahli telinga hidung dan tenggorokan (THT). Pertama kali memasuki ruang periksa, tangis balita itu pecah. Hanya lima menit Marjam dan Rudi ada di ruang praktik dokter itu, tanpa memeriksa, si dokter sudah mengetahui Erika tunarungu. Menurutnya, nada tangis anak tunarungu berbeda.

Hasil pemeriksaan lanjutan menyatakan buah hati mereka mengalami gangguan pendengaran berat bilateral. Sebagai dosen psikologi, Marjam paham betul apa konsekuensi kondisi pendengaran anaknya. Hidup sepi tanpa suara, maka berbicara, mengekspresikan perasaan, belajar, menikmati musik, dan hiburan, semua itu akan sulit dilakukan putrinya.

"Dia pasti mengalami kesulitan berteman. Dia pasti sulit mengendalikan emosinya. Dia pasti sukar beradaptasi. Dia pasti terhambat perkembangannya. Dia pasti sulit mengikuti pendidikan umum. Dia diperlakukan sebagai anak cacat. Dia tidak bisa ini-itu...," gumam Marjam soal kesulitan hidup yang kemungkinan akan dihadapi Erika.

Kisah Erika dan perjuangan keluarganya menghadapi dunia yang senyap tanpa suara, dituangkan Marjam dalam buku berjudul Beauty In Silence. Buku terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) itulah yang didiskusikan dalam Obrolan Pembaca Media Indonesia (OPMI), Sabtu (16/5).

Semakin sulit
Hadir dalam OPMI untuk secara langsung berbagi kisahnya, adalah Marjam dan suaminya. "Pergumulan saat menjadi ibu atau mengejar karier, terus terang tidak mudah. Tapi, panggilan menjadi orangtua adalah hal yang istimewa," aku Marjam.

Sebagai catatan, ketika dikaruniai Erika, Marjam merupakan dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Dia juga dosen di Universitas Atmajaya Jakarta dan guru piano Sekolah Musik Yayasan Pendidikan Musik. Tetap bekerja mungkin akan membantunya memenuhi tanggungan biaya untuk kebutuhan khusus Erika yang tidak sedikit, tapi baginya mustahil bila dia menyerahkan pendampingan dan pengajaran Erika sepenuhnya pada pengasuh anak.

"Kalau saya tetap bekerja, saya paling hanya bisa meluangkan waktu dua jam sebelum Erika tidur," jelasnya. Maka kendati berat, dia memilih berhenti kerja dan mendedikasikan seluruh waktunya untuk fokus mendampingi Erika. "Saya kehilangan pekerjaan, kehilangan identitas.

"Di sisi lain dengan berhenti bekerja, itu artinya pemasukan untuk kebutuhan keluarga hanya dari gaji tetap suaminya. Padahal sebagaimana yang terjadi saat ini, biaya yang dibutuhkan untuk kebutuhan khusus Erika sebagai tunarungu tidaklah murah. Mulai dari alat bantu pendengaran, penerjemah di masa sekolah, juga operasi, semuanya mahal. Sadar diri dengan kondisi itu, mereka sekeluarga harus mengencangkan ikat pinggang.

Makan hanya dengan nasi dan garam menjadi menu yang sangat biasa, juga pola makan yang hanya sekali dalam sehari. Tapi, bukan persoalan ekonomi yang menjadi persoalan terberat keluarga dengan anak yang mengalami tunarungu tersebut. Di dalam bukunya, tanpa berupaya mendramatisasi, Marjam menggambarkan betapa sulitnya untuk membuat Erika bisa diterima di lingkungannya. Bagi seorang anak dengan kebutuhan khusus sepertinya, pergi ke sekolah luar biasa (SLB) merupakan cara untuk mengintervensi keterbelakangan perkembangan anak. Maka di usia 3,9 tahun dia sudah harus bersekolah di SLB dengan jam belajar yang lamanya serupa jam kerja orang dewasa.

Di awal 1993, Rudi ditugaskan bekerja di Singapura. Pola pengajaran di sekolah khusus tunarungu Singapura berbeda dengan di Tanah Air, yakni dengan sistem total komunikasi. Itu artinya semua unsur wicara, ekspresi muka, bahasa isyarat, bahasa tubuh, menunjuk, memperagakan, mendemonstrasikan, dan menggambar, semua harus dipelajari dan dilakukan. Padahal di Indonesia, bahkan hingga sekarang, di SLB biasanya anak tunarungu diajari oral komunikasi dan diharapkan berbicara dengan bahasa yang sama dengan orang yang mampu mendengar dan berbicara.

Menyadari bakat Erika dalam olahraga renang, Marjam berusaha mendaftarkan putrinya itu ke klub renang. Benar saja, ketika usia 12 tahun, erika berhasil menduduki urutan ke delapan sebagai Top Ten Sportswomen of The Year 2000 oleh International Committee of Deaf Sports (sekaligus atlet termuda). Singapore Today sampai pernah menulis soal Erika dalam tulisan berjudul, Deaf Champ No One Wanted to Teach.

Siapa yang mengira Erika akhirnya bisa mencapai prestasi di Singapura, studi di Australia, dan Inggris. Tidak hanya unggul dalam renang, kemampuannya dalam matematika juga diakui, walau pada akhirnya Erika memilih panggilan jiwanya di bidang komunikasi visual dan sinematografi.

Dengan mengikuti pembelajaran Erika di berbagai negara, pembaca bisa melihat betapa berbedanya sistem yang berlaku bagi orang-orang berkebutuhan khusus di negara lain. Di Australia, misalnya, setiap tayangan televisi dilengkapi dengan subtitle yang sangat membantu Erika untuk belajar dan memahami fenomena yang digambarkan dalam layar kaca. Lalu di Singapura, kursus untuk anak berkebutuhan khusus tersedia dengan cuma-cuma. Lain halnya dengan di Indonesia, upaya mengembangkan bakat anak berkebutuhan khusus bisa sampai menguras tabungan orangtua.

Hal itu diakui Elli Kuswanto, seorang ibu yang juga memiliki anak tunarungu dan turut hadir dalam diskusi. Menurutnya di Indonesia, alat bantu dengar dan komunikasi yang membantu anak tunarungu dalam proses belajar mengajar harganya mahal. Padahal di Singapura, alat itu diberikan secara gratis sebagai hak orang berkebutuhan khusus.

Bisa dibayangkan betapa beratnya memastikan anak tunarungu di keluarga ekonomi lemah, untuk bisa mengejar pendidikan dan memperbaiki kehidupannya sendiri. "Masih banyak yang harus diperjuangkan," keluh Elli diamini Marjam. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya