Spektrum Penuh Mitos

MI/IWAN J KURNIAWAN
24/5/2015 00:00
Spektrum Penuh Mitos
(MI/IWAN J KURNIAWAN)
DEWI Shinta sedang merebahkan tubuh telanjangnya di lantai. Rambut panjangnya terurai. Sedikit membuat perwujudannya mengundang berahi. Di atas kepala, Jatayu melintas dengan kepakan sayap.

Mereka seakan sedang berada di sebuah tempat. Jauh dari keriuhan kota. Bersantai dan bercengkerama sebelum akhirnya capek sendiri. Atau mungkin saja, Shinta sedang bersembunyi untuk menghindari buruan si jahat, Rahwana.

Gambaran itu terlihat lewat karya Jatayu dan Dewi Shinta (120x140 cm) yang dipajang pada pameran tunggal Aten Waluya bertajuk Monochrome (Monokrom) di Galeri Cemara 6, Jakarta, pertengahan pekan ini.

Pada pameran kali ini, pelukis asal Bandung, Jawa Barat, yang juga berprofesi sebagai pengajar itu, menghadirkan satu spektrum berupa unsur monokrom, yaitu hitam di atas kanvas putih. Ini menjadi gaya Aten menghadirkan kesederhanaan.

Ia tak ingin menonjolkan unsur pewarnaan. Ia berpatok pada warna hitam sehingga karya-karya berbahan cat akrilik di atas kanvas itu penuh karakter. Semisal, karakter perempuan ayu tanpa sehelai kain melekat di tubuh. Ada fantasi atas fragmen-fragmen yang sengaja dibiarkan terputus satu dengan lainnya.

Pameran ini berlangsung hingga Jumat (29/5) mendatang. Semua karya pun sengaja tak ia selesaikan secara utuh sehingga tampak surealis. Ini bisa kita tengok pada karya Pohom Khayal, Titah Penunggang (75x150 cm), Penunggang 1 (120x140 cm), dan Pemburu Banteng (145x180 cm).

Setiap karya memiliki kesamaan, yaitu pada unsur monokrom. Namun, memiliki perbedaan pada objek, terutama berupa fragmen fauna. Di sini, Aten memainkan peran sebagai 'pencipta'. Ia memanfaatkan media dua dimensi dan menghadirkan keanehan-keanehan.

Pada Kupu-Kupu 1 (80x100 cm), jelas dunia fantasi menjadi suguhan kuat. Dalam kanvas terlihat, seorang lelaki telanjang dengan sayap dan kepala menyerupai kupu-kupu. Ia tampak mengalami nasib nahas. Sayap kirinya sedikit caing (koyak) dan mulai rusak.

Objek lukisan itu memang memiliki tujuan sebagai pengikat tema monokrom yang Aten sajikan. Ada unsur bayangan karena bila diselesaikan secara utuh maka bukan surealis namanya. "Tema ini saya ambil karena pada dasarnya hanya satu warna, yaitu mono. Saya berusaha mencoba agar tidak fanatik (dengan warna). Saya mah cenderung surealis memang," ucap Aten menanggapi pamerannya.

Tradisi kampus
Terlepas dari unsur surealis, ia masih bertahan menjaga corak yang lekat dengan unsur grafis. Maklum, latar belakang pendidikan di jurusan Seni Grafis di Institut Teknologi Bandung (ITB) memberikan pengaruh yang begitu kuat pada karya-karyanya.

Pengalaman berharga saat ia mengikuti Graphic Biennale di Beograd, Yugoslavia (1979) atau Asian International Art Exhibition, Fukuoka, Jepang (1985) menjadikan ia lebih membumi. Ia telah memberikan sumbangsi, terutama menjadi generasi yang konsen terhadap tema-tema di luar nalar.

Unsur mitologi seperti pada Jatayu dan Dewi Shinta. Termaktub dalam Wiracarita Ramayana pun begitu kuat. Aten menghayati kisah-kisah dalam ajaran mitologi Hindu. Lalu, ia tuangkan kembali lewat sebagian karya utuh.

Sebagai ilustrator, desainer grafis, dan seniman, Aten telah mengecap pengalaman. Tidak saja kala bergelut bersama mahasiswa di ruang kampus sebagai pengajar di perguruan tinggi ternama, semisal, di Bandung dan Jakarta. Namun, ia telah menelanjangi diri dan melebur dengan seni itu sendiri.

Ia tidak adigung dalam menonjolkan diri sebagai seorang pelukis bohemian. Berbeda bila kita telusuri pada pelukis surealis Spanyol Salvador Dali yang melegenda. Aten adalah Aten. Seorang anak kampung yang terjun mengabdikan diri sebagai pekerja seni.

Kurator Pameran Monochrome, Chandra Johan, menilai Aten berangkat dari keterampilan membuat sketsa dan drawing di era 1980-an. Di saat itulah, perkembangan surealis begitu kuat di lingkungan kampus sehingga Aten membuat karya grafis yang cenderung surealis.

"Di masa 80-an, arus surealis sempat terkucilkan karena arus lukisan abstrak sehingga hanya dilakukan sporadis oleh beberapa orang saja. Yang cukup menonjol saat itu adalah Suatmadji (pelukis). Sedangkan Aten muncul sebagai sosok yang memperkaya," nilai Chandra.

Lewat pameran ini, Aten berhasil membangun ilusi. Ia tidak sekadar merepresentasikan kenyataan yang terlihat. Namun, ada renungan atau kayalan. Dibiarkannya berkelana pada dinding-dinding penuh mitos. (M-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya