PENCEMARAN sektor transportasi di Jakarta masih tinggi. Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan Universitas Indonesia Budi Haryanto mengungkapkan pencemar udara Jakarta yang berasal dari kegiatan transportasi mencapai 85% dari total pencemaran.
"Nomor satu karena jumlah kendaraannya," kata Budi di Jakarta, Kamis (21/5). Pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat itu memperkirakan risiko pencemaran udara di Jakarta masih tinggi sampai lima tahun ke depan karena kebutuhan akan kendaraan dan penggunaan bahan bakar minyak masih meningkat hingga 2030. Selain akibat kegiatan transportasi, pencemaran udara juga terjadi akibat penggunaan bahan bakar, kegiatan industri, dan sampah padat yang mengeluarkan zat metana pada saat mengalami degradasi.
Gas pencemar, seperti sulfur oksida, nitrogen oksida, karbon monoksida, dan hidrokarbon bisa menyebabkan gangguan organ vital, seperti sistem
saraf pusat dan ginjal. Sementara itu, partikel debu jika masuk ke tubuh bisa menyebabkan hidung tersumbat, batuk, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, dan bronkitis. Untuk meminimalkan risiko dari pencemaran udara di dalam ataupun di luar ruangan, ia menyarankan
agar masyarakat menggunakan pemurni udara di dalam ruangan. Warga juga sebaiknya menggunakan masker ketika melewati jalan dengan udara tercemar.(Ant/M-3)