Biodiesel dari Pertemuan Alga dan Limbah

MI/SITI RETNO WULANDARI
24/5/2015 00:00
Biodiesel dari Pertemuan Alga dan Limbah
(AP)
LIMBAH campuran kotoran ikan dan udang sudah menjadi pemandangan biasa di kawasan pesisir timur Lampung. Limbah tersebut merupakan buangan perusahaan tambak yang banyak beroperasi di sana. Volume limbah pun makin meningkat saat tambak-tambak dibersihkan.

Sekian lama menyadari produksi limbah itu, empat sekawan, yakni Mustika Mega, Agung Prasdianto, Aditya Putra Pratama, dan Yonathan F, tebersit memanfaatkan limbah di akhir 2014 lalu.

Keempat pemuda Lampung itu melihat limbah tersebut hanya berbentuk cair, sedangkan bagian padatnya sudah disaring terlebih dahulu oleh pihak perusahaan.

Mereka pun berpikir untuk memanfaatkan limbah tersebut. Limbah yang mengandung banyak senyawa organik seperti amonia, nitrit, dan fosfat tersebut dapat digunakan lagi oleh alga.

Kepada Media Indonesia, di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (SITHITB), Bandung, Rabu(15/4), Mustika menjelaskan bahwa alga termasuk organisme yang mampu bertahan dalam kondisi stres sehingga cocok dimanfaatkan untuk mengolah limbah. "Sebelumnya memang sudah ada penelitian mengenai pemanfaatan limbah untuk kultur alga oleh Profesor Roger Ruan dari Amerika Serikat. Berdasarkan hal tersebut, kami menggunakan simulasi pemanfaatan limbah sebanyak 50% dan 50% medium murni yang terdiri atas air dan NPK (nitrogen, fosfor, kalium)," tutur Mustika.

Tak hanya mampu bertahan dalam kondisi yang penuh tekanan, tetapi alga juga termasuk organisme yang cepat tumbuh dan dipanen. Sejak menaruh bibit, enam hari kemudian alga sudah bisa dipanen pada bagian tertentu.

Enam hari berikutnya, bagian lain pun sudah siap untuk dipanen dan diolah serta bernilai ekonomis. Karena kandungan minyak yang cukup besar pada alga, tak mengherankan jika organisme itu selalu diidentikkan sebagai bahan dasar pembuat bahan bakar kendaraan bermotor seperti biodiesel.

Mustika mengatakan kandungan minyak dalam alga memang bervariasi, mulai 20%-70% kandungan minyak dalam berat kering. Jika minyak sudah didapat, biomassa kering alga dapat digunakan sebagai bahan makan (pelet) ikan ataupun udang karena masih mengandung karbohidrat.

Teliti kandungan air limbah
Meskipun dapat tumbuh dalam air limbah, bukan berarti air tempat hidup alga tidak perlu dipantau. Agung, mahasiswa dari jurusan teknik fisika, mengungkapkan bahwa mereka menjaga agar air limbah jangan sampai mengandung mikroba atau alga jenis hewan seperti bioplankton. Sebab, bioplankton akan menghambat pertumbuhan alga tumbuhan yang ingin dikembangkan. Di sisi lain, tempat hidup alga sebisa mungkin menggunakan air limbah tanpa perlu dicampur dengan medium lainnya.

"Kami masih meneliti dan mengupayakan agar bisa menggunakan air limbah sepenuhnya. Saya sempat berbincang dengan salah satu dosen yang juga berkonsentrasi pada perkembangbiakan alga, sekitar lima hari air sudah terlihat berwarna hijau, pada hari berikutnya hilang warna tersebut yang rupanya dimakan oleh alga yang berjenis hewan. Tingkat kontaminasi harus diteliti supaya hasil bisa maksimal,"ungkap Agung.

IA juga menjelaskan bahwa tempat pengembangbiakan alga tidak menggunakan kolam, tetapi fotobioreaktor, semacam plastik polikarbonat.

Dari hasil diskusi, terdapat gambaran ideal, limbah dari lahan tambak seluas 8 hektare, cukup untuk mengisi fotobireaktor dengan panjang 20 meter dan diameter 3 meter. Kemudian, foto bireaktor tersebut ditempatkan pada air laut dengan menggunakan rig sebagai pengikat agar fotobioreaktor tidak hanyut. Cara itu juga dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa guncangan alami yang berasal dari ombak laut dan suhu ideal laut akan cocok untuk perkembangan alga.

"Jadi, tidak perlu dipanaskan jika suhu terlalu dingin atau sebaliknya. Kondisi air laut itu sudah sangat ideal untuk perkembangan alga. Kita pun tidak perlu mengaduk karena sudah dengan sendirinya diguncang ombak," imbuh Agung.

Akan tetapi, kendala dana yang dialami oleh keempat sekawan itu membuat mereka belum bisa melakukan uji coba dalam keadaan riil. Selama ini, mereka hanya mampu menguji coba alga pada kondisi ideal yang bebas dari gangguan mikroba lain.

Satu tahap untuk menghasilkan minyak

Lalu bagaimana mengolah mikroalga tersebut? Soal itu Yonathan dan Aditya mengungkap tiga tahapan besar yang harus dilalui.

Pertama, mereka harus memisahkan biomassa alga dari cairan mediumnya. Ada beberapa teknik yang mereka gunakan, salah satunya ialah fl occulation, yang akan menghasilkan biomassa alga yang hanya mengandung 5% air.

Setelah selesai, dilakukan proses ekstraksi agar minyak dapat keluar dengan bantuan gelombang elektromagnetik. Mikroalga diberikan getaran supaya pecah dan kandungan minyaknya akan didapat. Setelah itu, baru minyak dikonversi sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.

"Yang paling efisien ya menggunakan gelombang elektromagnetik karena minyak yang tersisa dalam biomassa alga kering pun hanya sedikit. Jadi, bisa didapat hasil yang maksimal," ujar Yonathan.

Kini, mereka tengah mengkaji kemungkinan penggabungan tahap pemisahan biomassa dari medium hingga mendapat cairan minyak dari tumbuhan tersebut. Pasalnya, tahap pemisahan dengan medium sangat sulit dan diperlukan lebih dari 75% energi.

Para pemuda itu berkeinginan untuk bekerja sama dengan lembaga penelitian seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sehingga produksi biodiesel mereka bisa mendapat masukan. Mereka berharap pada akhirnya dapat menghemat biaya produksi.

"Selama ini, sesuatu yang berbahan alami pasti memiliki biaya produksi yang tinggi. Kami ingin mencoba memangkas hal tersebut. Bekerja sama dengan para peneliti juga dibutuhkan untuk menyempurnakan ide kami ini," pungkas Aditya. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya