DAPUR, buat sebagian kaum urban bisa jadi bagian dari rumah, tetapi telah jarang mereka fungsikan. Maka, untuk sehat, kembalilah ke dapur. Itulah yang dikampanyekan Farah Mauludynna dengan clean eating-nya.
Setelah setahun rajin meng-update di Instragram, memajang foto masakan yang dibuat di dapur juga sehat karena seimbang antara semua komponen makanan, dilengkapi cerita dibaliknya, Farah kini menggelar berbagai kelas.
"Melalui tagar #baliklagikedapur, saya ingin hadirkan semangat dalam mengedukasi pola makan clean eating, mengajak, menginspirasi, dan memberdayakan semua lapisan masyarakat untuk kembali ke dapur dan memasak makanannya sendiri. Sejauh yang kami pelajari, clean eating ialah salah satu pilihan solusi tepat untuk memiliki gaya hidup sehat yang berkualitas," jelas Farah ketika ditemui usai memberikan materi workshop clean eating di Bandung (17/5).
Berawal di Amerika Serikat pada 1960, clean eating, kata Farah, diawali kisah tentang makanan-makanan kaleng yang awalnya diperuntukkan untuk konsumsi tentara-tentara Perang Dunia II. Makanan itu kemudian mulai masuk ke pasar dan dibeli masyarakat. Munculkah kekhawatiran mengonsumsi makanan kaleng yang mengandung bahan-bahan pengawet, gerakan itu kemudian terus bertumbuh di penjuru dunia dengan pendekatan yang beragam.
"Clean eating disebut juga sebagai pola makan yang ideal, mengonsumsi whole foods makanan yang paling alami dan tidak banyak diproses, lalu memperbanyak asupan buah dan sayur, gandum utuh, protein yang tidak berlemak, juga menghindari makanan dalam kemasan serta hidangan cepat saji," paparnya.
Lebih lanjut Farah menjelaskan, setidaknya ada lima langkah untuk melakukan clean eating. Pertama, memiliki motivasi yang kuat dari dalam diri sendiri. Lalu kedua adalah berkomunikasi dengan diri sendiri.
Peluk tubuh "Dulu waktu saya mau mulai clean eating, saya bilang ke tubuh saya, saya peluk tubuh saya dan saya bilang kalau kita akan melakukan clean eating, mengubah pola makan selama ini. Dan tentunya, lalu memasaknya sendiri di dapur," kata Farah.
Clean eating, kata Farah, harus dilakukan dalam waktu 21 hari dan tidak boleh terputus, jika terputus, harus dimulai dari awal. Periode tersebut diperlukan untuk membuat tubuh beradaptasi dengan pola makan yang baru dan lebih sehat.
"Tantangan banyak, mulai dari harus memasak sendiri bagi yang tidak biasa memasak, siap merasakan rasa makanan yang hambar, godaan untuk makan di restoran, harus membuat rencana makanan. Tapi sepadan, karena bertahap, kulit lebih bersih dan bercahaya, energi lebih banyak, mood lebih baik, tidur jadi lebih berkualitas, bahkan berat badan saya turun 10 kg dalam 3 bulan tanpa saya sadari," papar Farah.
Clean eating sendiri, kata Farah, tidak mengharuskan makan bahan makanan organik,tetapi cukup dengan mengonsumsi bahan makanan sehari-hari yang ada di pasar dan mencucinya dengan bersih.
"Kalau kita sudah clean eating, tubuh kita jadi memiliki sistem peringatan sendiri terhadap makanan-makanan yang tidak menyehatkan. Misalnya, kita sudah memiliki pola clean eating, kalau makan makanan berpengawet atau mengandung MSG tubuh akan bereaksi dengan munculnya rasa mual, pusing, atau nyeri," katanya.
Buat menciptakan rasa, pegagan, teh hijau, jati belanda, stevia, gandum utuh, hingga mint dijadikan penguat rasa alami. Aneka rempah itu dijual Herbasays, milik Dwipuspita Pangastuti yang memamerkan produksinya pada pelatihan itu.
"Rasa manis itu bisa didapat dari daun stevia, pedas kita dapatkan dari daun mint. Kita juga tidak perlu pengawet makanan karena bahan-bahan herbal itu adalah pengawet alami," jelas Dwi.
Resep sudah ada, teknik memasak sudah dipelajari, bumbu sudah tersedia, tinggal tekad dikuatkan ketika kawan mengajak mencoba restoran baru!