Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
JENDELA gerai masih tertutup rapat. Di pintu belakang tampak orang hilir mudik mempersiapkan pembukaan gerai, sedangkan di depan gerai sekitar 10 calon pembeli sudah mengantre. Padahal, gerai Markobar di Menteng baru buka 1 jam lagi, tepatnya pukul 17.00 WIB.
Semakin malam antrean kian panjang. Sekitar pukul 19.00, nomor antrean mencapai 57. ''Nomor berapa? Saya dapat nomor antrean 72,'' ucap Marisa Gustiana, 22. Padahal, jeda kedatangannya kurang 30 menit dari nomor antrean 57. Pertanyaan seperti itu sering terdengar di antara para pengantre.
Guna mengatasi antrean itu, Markobar membuat dua jalur. Antrean pembeli langsung dan antrean pesanan ojek. Strategi membagi jalur itu juga diterapkan di kedai Martabakku yang berlokasi di Jl HOS Cokroaminoto Menteng. Alasannya sederhana, yakni agar antrean tidak terlalu menumpuk. Pelanggan yang memilih bersantap di gerai pun merasa nyaman.
Jika Markobar buka sore hari, beda dengan Martabakku yang sudah beroperasi pukul 11.00. Mereka tetap banjir pesanan. Martabak yang dulu identik makanan sore dan malam hari beralih menjadi camilan saat rapat bisnis di siang hari. Banyak pelanggan yang datang merupakan perusahaan. ''Martabak telah menjadi camilan semua waktu,'' terang Marketing & Promotion Martabakku Hesti Kumala, 33.
Beberapa tahun terakhir gerai martabak menjamur. Mereka bersaing menawarkan berbagai keunggulan dan meraup omzet puluhan juta rupiah.
Markobar yang baru dibuka akhir 2015, misalnya, yang mempekerjakan 11 orang, dalam sehari bisa meraup Rp20 juta. Jumlah itu dihasilkan dari 100-200 loyang martabak dengan kisaran harga Rp40 ribu-Rp130 ribu.
''Rata-rata per hari baru di kisaran Rp20 juta,'' terang Manager Store Markobar Jakarta Dimas, 23.
Martabakku yang berdiri pada 26 Februari 2015 dalam sehari menjual 100 loyang dengan variasi harga Rp79 ribu- Rp190 ribu. Jumlah itu dihasilkan satu gerai, padahal Martabakku memiliki tiga gerai di Jakarta dengan 45 pegawai. ''Satu bulan (dari tiga gerai), kita bisa jual 8.000 loyang,'' imbuh Hesti.
Setiap gerai menawarkan kekhasan. Markobar menawarkan roti yang enak, sedangkan Martabakku mengedepankan orisinalitas tanpa pengawet dan pewarna makanan.
Bangka
Tidak hanya di Jakarta, di tanah kelahiran martabak, Bangka Belitung, jumlah penjual martabak mengalami peningkatan. Martinus, 31, penerus martabak Acau 89, mengatakan seiring dengan meningkatnya pariwisata, jumlah pedagang martabak di Pangkal Pinang meningkat menjadi 30 pedagang.
Dari 30 pedagang, hanya dua yang buka awal. ''Hanya dua pedagang martabak di Pangkalpinang yang buka lebih awal, sedangkan pedagang lainnya memilih buka sore pukul 16.00 setiap hari,'' ucapnya.
Awalnya martabak Acau yang dibuka pada 1989 itu hanya berisi wijen dan gula. ''Dulu yang dikenal hanya martabak rasa wijen dan gula, tapi sekarang sudah bervariasi, ditambah dengan kemasan yang menarik,'' cerita Martinus.
Penikmatnya pun tidak hanya konsumen lokal, tapi juga wisatawan yang datang membeli oleh-oleh. ''Sekarang dalam sehari kita bisa jual 100 loyang martabak beraneka macam rasa,'' ujar Martinus. Satu loyang martabak dijual dari harga Rp12 ribu sampai Rp108 ribu.
Tidak salah bila wisatan berburu martabak di Pangkalpinang. Bagaimana tidak, kota itu merupakan tempat asal muasal martabak. Semua berawal dari masuknya masyarakat Tionghoa generasi pertama oleh Kesultanan Palembang ke Bangka pada masa pemerintahan Muhammad Mansyur Jayo Inglago pada 1710.
''Masyarakat Tionghoa Generasi pertama datang ke Bangka pada 1710 itu memiliki berbagai keahlian. Di sam ping menambang, keahlian masyarakat ini dinamakan gilda,'' kata pemerhati budaya dan kuliner Bangka yang juga Kepala Dinas Budaya, Pariwisata, dan Olahraga (Disabudpora) Kota Pangkalpinang Akhmad Alfian kepada Media Indonesia, Rabu (16/3).
Dua suku yang datang, Hakka dan Khek atau Hokian, memiliki keahlian tata boga. Di abad ke-18, mereka membuat kue yang disebut hok lo pan atau pendekuk. ''Martabak ini mulai dibuat suku Hakka dan Hokian abad ke-18 dengan rasa gula dan wijen,'' ujarnya.
Kala itu hok lo pan dibuat dengan wadah kuningan di atas tungku arang. ''Cita rasa martabak itu manis dan gurih disebabkan cara masaknya menggunakan arang dengan wadah dari kuningan,'' terang Akhmad Alfian.
Bila masyarakat Tionghoa menyebutnya hok lo pan, beda dengan Belanda. Mereka menyebutnya pendekuk karena kue tersebut dilipat. ''Orang Melayu Bangka memanggil hok lo pan sama dengan Belanda, yakni pendekuk hingga sekarang,'' tegasnya.
Tidak hanya itu, martabak juga disebut kue terang bulan. Lebih lanjut, ketua dan pendiri gerakan Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI) Santhi Serad mengungkapkan saat itu martabak yang dijual berukuran lebih kecil dan tidak dilipat.
''Saat dijual di Pangkalpinang, ukurannya lebih kecil daripada yang sekarang dan adonan tidak ditumpuk ataupun dilipat berbentuk bulat, jadi dinamakan kue terang bulan,'' imbuhnya. (M-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved