Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
SUASANA guyub dan ramah langsung menyapa di depan mata ketika memasuki Galeri Lorong di Nitiprayan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Terdapat 14 lelaki duduk santai di sebuah angkringan sambil menikmati hidangan khas angkringan. Ada yang makan, menuangkan minum temannya dan ada juga yang sedang menyulutkan rokok temannya.
Semuanya memakai baju lurik dan blangkon, khas Yogyakarta, cuma satu yang hanya memakai baju biasa dan tidak berblangkon. Meski begitu, suasana nyaman dan guyub tetap terlihat, mereka dapat barbaur dalam keberagaman.
Di belakang mereka, terlihat jelas sebuah gunung berapi aktif di Indonesia, yakni Gunung Merapi. Pemandangan itu semakin menambah memori siapa saja yang pernah menjejakkan kaki di setiap sudut Yogyakarta; angkringan, baju lurik, blangkon, dan Gunung Merapi.
Itulah karya lukis kolaborasi Bambang Nurdiansyah dengan Apriyanto Sadewo. Sekilas, lukisan yang berdimensi 4x1,5 meter itu mirip karya Leonardo Da Vinci yang berjudul The Last Supper, yakni sebuah karya yang menggambarkan perjamuan terakhir di tengah ruangan menggunakan meja makan persegi panjang. ''(Jelas Super) parodi The Last Supper,'' ujar Bambang Nurdiansyah, 24.
Melalui karya Jelas Super, Bambang dan Sadewo mengganti meja perjamuan dengan gerobak angkringan serta Yesus dan sahabatsahabatnya dengan para lelaki berbaju lurik dan berblangkon.
Angkringan bagi Bambang ialah tempat makan yang khas di Yogyakarta. Selain menyuguhkan hidangan makanan dan minuman, angkringan menyajikan kenyamanan dan keakraban. ''Karena angkringan adalah identitas Yogyakarta, nyaman dan guyub,'' kata dia.
Yogyakarta dalam Karya Seniman, itulah yang sedang dipamerkan di Galeri Lorong, sebuah karya yang mengulas Yogyakarta hasil racikan para seniman. Pameran tentang Yogyakarta itu dibuka sejak Senin (29/2). Ada delapan seniman yang ikut pameran. Mereka ialah Ali Umar, Allatief, Apriyanto Sadewo, Bambang Nurdiansyah, Dedy Maryadi, Gono Sudargono, Khusna Hardiyanto, dan St C Suparno dan mereka semua membicarakan Yogyakarta melalui karya.
Di samping Jelas Super, berderet beberapa lukisan di antaranya berjudul Merapi (90 x 77 cm). Lukisan itu karya St C Suparno, seorang pelukis yang pernah bergabung di Sanggar Pelukis Rakyat.
Nostalgia dan kritik
Di Galeri Lorong, tidak hanya dipajang karya lukis saja, ada beberapa karya senin 3 dimensi yang ikut mengeksplorasi Yogyakarta.
Seperti karya Khusna Hardiyanto, 34, yang menyuguhkan karya seni 3 dimensi berwujud setrika klasik. Karya itu diberinya judul Replay dan dipajang di pojok Galeri Lorong.
Khusna ingin mengajak pengunjung untuk mengingat kembali masa lalu. Konon, tidak sedikit ibu-ibu rumah tangga atau masyarakat yang memakai setrika itu untuk merapikan pakaian. Namun, sebelumnya harus diisi arang lalu mengipasinya agar membara dan panas, setelah itu baru dipakai nyetrika pakaian. ''Saya ingin bernostalgia,'' kata Khusna tentang karya 3 dimensinya yang menurutnya, dulu Yogyakarta karib sekali dengan setrika klasik dengan pemanas arang.
Lewat karya Replay itu, terlihat jelas Khusna tidak hanya ingin bernostalgia tentang setrika arang, atau sekadar mengingatkan orang bahwa pernah ada alat setrika dengan pemanas arang. Dia juga mengkritik penebangan pohon yang sewenang-wenang. Dan karena itulah, setrika arang tidak lagi dipakai, hanya sebagai karya seni untuk mereplay masa lalu, nostalgia.
Karya-karya lain dalam bentuk 3 dimensi juga tersaji di Galeri Lorong, semua tentang Yogyakarta. Pengunjung bisa melihat kehidupan masyarakat Yogyakarta, sosial dan budayanya melalui karya seni yang dipajang di sana sampai 25 Maret nanti.
Ada satu hal yang tersirat di pameran itu, Yogyakarta dulu dan sekarang sudah berbeda, seperti karya setrika arang. (Furqon Ulya Himawan/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved