Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
RATAPAN dari dalam rumah adat di Wanukaka malam itu menimbulkan rasa pilu. Tidak ada di antara hadirin yang berani mengangkat wajah. Ada kepala adat, warga, dan tentu gadis desa berparas cantik yang ditugasi melantunkan syair-syair itu. Itulah syair yang mengisahkan Rabu Kaba ratusan tahun silam yang membuat geger Kampung Waiwuang di Kecamatan Wanukaka, Kabupaten Sumba Barat, dan Kampung Tosi, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Ratapan dilakukan pada acara pesta tinju tradisional (prajura) yang digelar empat hari jelang Pasola. Pasola ialah permainan ketangkasan melempar lembing kayu ke tubuh lawan sambil menunggang kuda. Pasola digelar di empat kecamatan, yakni Wanukaka, Kodi, Laura, dan Lamboya setiap Februari dan Maret. Sementara itu, Rabu Kaba ialah istri pemuda Waiwuang bernama Umbu Dulla. Umbu dan dua saudaranya, Ngongu Toumatutu dan Yagi Waikareri, yang berprofesi sebagai nelayan, pergi mengambil padi di Kampung Mahu Karera di pantai selatan Kabupaten Sumba Timur. Wilayah itu berjarak sekitar 200 km.
Namun, tiga bersaudara itu berdalih pergi menangkap ikan di laut. Itulah awal tragedi cinta pasangan itu yang kemudian melahirkan Pasola. Selama berbulan-bulan, mereka tidak pulang sehingga membuat seisi kampung berubah jadi panik. Warga dikerahkan menyusuri pesisir pantai berusaha menemukan mereka, tapi tetap nihil. Pencarian berakhir karena warga menduga perahu yang ditumpangi ketiganya tenggelam di laut sehingga mulailah digelar pesta berkab ng selama beberapa hari. Di pesta perkabungan itu, Rabu Kaba bertemu dan jatuh cinta kepada pemuda bernama Teda Gaiparona dari Tosi di Kecamatan Kodi. Sayang, hubungan mereka itu tidak direstui keluarga. Kelak, itu membuat Rabu gusar kemudian memilih minggat bersama Teda. Denda adat Di tengah pencarian sang suami dan dua saudaranya pulang membawa padi, ia kemudian ikut bergabung melakukan pencarian sampai keduanya ditemukan. Rupanya, Rabu merasa bersalah dan malu sehingga menolak pulang. Ia malah menuntut pertanggungjawaban Teda dengan menikahinya dan membayar tujuh denda adat. Ternyata Teda menyanggupi denda sehingga perempuan berparas cantik itu resmi menjadi istri Teda. Sebelum Rabu meninggalkan Kampung Waiwuang, anggota keluarga Teda berpesan kepada keluarga Umbu Dulla agar tidak larut dalam sedih. Nah, untuk melupakan
kesedih an itu, mereka sepakat menggelar pesta nyale dan Pasola. Nyale atau cacing ialah satu dari tujuh denda adat yang dibayarkan Teda Gaiparona tersebut,
yaitu ia harus membawa 11 bungkus nyale yang dibungkus daun.
Kabid Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nusa Tenggara Timur Yuliana Umbu Rauna mengatakan nyale diambil di pantai pada dini hari dipimpin tua adat (rato) mengenakan pakaian adat lengkap, kemudian dilanjutkan dengan Pasola di lapangan. “Sebelum mengambil nyale, para kepala suku akan bersemedi semalam suntuk,” ujarnya.Rato yang berpakaian adat lengkap berdiri di batu dekat pantai sambil berseru dengan suara keras, “Wuuu... wuu..wuuu...” Itu dilakukan untuk memanggil nyale. Seruan disambut pemimpin adat lainnya kemudian meneruskannya ke warga. Itu pertanda nyale siap dieluk-elukan. Sesuai kepercayaan warga setempat, jika nyale yang muncul di pantai saling menggigit dan agak kotor, itu pertanda padi bakal dimakan hama tikus. Sebaliknya, jila nyale membusuk, itu
pertanda hujan bakal turun saat petani panen. Sementara itu, bila tidak ada nyale, itu berarti musibah kelaparan bakal melanda. Pertanda lain yang berhubungan
dengan Pasola ialah jika salah satu pemain terkena lembing lawan dan berdarah atau meninggal, itu pertanda hasil panen akan melimpah dan warga hidup makmur. “Jika tidak ada insiden selama pergelaran Pasola, dipercaya akan terjadi kelaparan,” kata dia. Hingga kini, Pasola yang muncul dari kisah Rabu Kaba itu tidak luntur
termakan perubahan zaman, bahkan telah menjadi ciri khas penduduk Sumba. (M-2) miweekend@mediaindonesia
RATAPAN dari dalam rumah adat di Wanukaka malam itu menimbulkan rasa pilu. Tidak ada di antara hadirin yang berani mengangkat wajah. Ada kepala adat, warga, dan tentu gadis desa berparas cantik yang ditugasi melantunkan syair-syair itu. Itulah syair yang mengisahkan Rabu Kaba ratusan tahun silam yang membuat geger Kampung Waiwuang di Kecamatan Wanukaka, Kabupaten Sumba Barat, dan Kampung Tosi, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Ratapan dilakukan pada acara pesta tinju tradisional (prajura) yang digelar empat hari jelang Pasola. Pasola ialah permainan ketangkasan melempar lembing kayu ke tubuh lawan sambil menunggang kuda. Pasola digelar di empat kecamatan, yakni Wanukaka, Kodi, Laura, dan Lamboya setiap Februari dan Maret. Sementara itu, Rabu Kaba ialah istri pemuda Waiwuang bernama Umbu Dulla. Umbu dan dua saudaranya, Ngongu Toumatutu dan Yagi Waikareri, yang berprofesi sebagai nelayan, pergi mengambil padi di Kampung Mahu Karera di pantai selatan Kabupaten Sumba Timur. Wilayah itu berjarak sekitar 200 km.
Namun, tiga bersaudara itu berdalih pergi menangkap ikan di laut. Itulah awal tragedi cinta pasangan itu yang kemudian melahirkan Pasola. Selama berbulan-bulan, mereka tidak pulang sehingga membuat seisi kampung berubah jadi panik. Warga dikerahkan menyusuri pesisir pantai berusaha menemukan mereka, tapi tetap nihil. Pencarian berakhir karena warga menduga perahu yang ditumpangi ketiganya tenggelam di laut sehingga mulailah digelar pesta berkabung selama beberapa hari. Di pesta perkabungan itu, Rabu Kaba bertemu dan jatuh cinta kepada pemuda bernama Teda Gaiparona dari Tosi di Kecamatan Kodi. Sayang, hubungan mereka itu tidak direstui keluarga. Kelak, itu membuat Rabu gusar kemudian memilih minggat bersama Teda. Denda adat Di tengah pencarian sang suami dan dua saudaranya pulang membawa padi, ia kemudian ikut bergabung melakukan pencarian sampai keduanya ditemukan. Rupanya, Rabu merasa bersalah dan malu sehingga menolak pulang. Ia malah menuntut pertanggungjawaban Teda dengan menikahinya dan membayar tujuh denda adat. Ternyata Teda menyanggupi denda sehingga perempuan berparas cantik itu resmi menjadi istri Teda. Sebelum Rabu meninggalkan Kampung Waiwuang, anggota keluarga Teda berpesan kepada keluarga Umbu Dulla agar tidak larut dalam sedih. Nah, untuk melupakan kesedih an itu, mereka sepakat menggelar pesta nyale dan Pasola. Nyale atau cacing ialah satu dari tujuh denda adat yang dibayarkan Teda Gaiparona tersebut, yaitu ia harus membawa 11 bungkus nyale yang dibungkus daun.
Kabid Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya, Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nusa Tenggara Timur Yuliana Umbu Rauna mengatakan nyale diambil di pantai pada dini hari dipimpin tua adat (rato) mengenakan pakaian adat lengkap, kemudian dilanjutkan dengan Pasola di lapangan. “Sebelum mengambil nyale, para kepala suku akan bersemedi semalam suntuk,” ujarnya.Rato yang berpakaian adat lengkap berdiri di batu dekat pantai sambil berseru dengan suara keras, “Wuuu... wuu..wuuu...” Itu dilakukan untuk memanggil nyale. Seruan disambut pemimpin adat lainnya kemudian meneruskannya ke warga. Itu pertanda nyale siap dieluk-elukan. Sesuai kepercayaan warga setempat, jika nyale yang muncul di pantai saling menggigit dan agak kotor, itu pertanda padi bakal dimakan hama tikus. Sebaliknya, jila nyale membusuk, itu pertanda hujan bakal turun saat petani panen. Sementara itu, bila tidak ada nyale, itu berarti musibah kelaparan bakal melanda. Pertanda lain yang berhubungan dengan Pasola ialah jika salah satu pemain terkena lembing lawan dan berdarah atau meninggal, itu pertanda hasil panen akan melimpah dan warga hidup makmur. “Jika tidak ada insiden selama pergelaran Pasola, dipercaya akan terjadi kelaparan,” kata dia. Hingga kini, Pasola yang muncul dari kisah Rabu Kaba itu tidak luntur termakan perubahan zaman, bahkan telah menjadi ciri khas penduduk Sumba. (M-2) miweekend@mediaindonesia
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved