Kafe Artistik di Mempawah

Aries Munandar
20/3/2016 05:33
Kafe Artistik di Mempawah
(FOTO-FOTO: MI/ ARIES MUNANDAR)

SEPASANG pria dan wanita tampak sedang asik menikmati hidangan yang tersaji di meja mereka. Suasana ruangan tempat mereka berada memang kafe yang nyaman nan artistik. Dindingnya unik dengan potongan kayu bekas peti sebagai panel yang menutupi hampir seluruh permukaan. Material kayu yang dibiarkan tanpa cat itu juga hadir sebagai meja. Sementara itu, kursinya dibuat dari drum bekas yang ditempatkan melintang dan dipotong pada bagian tengah.

Interior bergaya rustic industrial itu memang belakangan diminati karena membangkitkan suasana yang alami, tetapi juga kontras dengan unsur metal. Menghasilkan aura yang nyaman, ramah, tapi juga lugas dan maskulin. Namun, tempat nongkrong bernama Lapan Cafe itu bukan di Jakarta yang memang membanjir dengan beragam gaya kafe, melainkan di Mempawah, sebuah kota kecil yang tenang di Kali­mantan Barat.

Berjarak sekitar 2 jam perjalanan darat dari Pontianak, Mempawah merupakan sebuah kota yang kental akan akulturasi budaya Dayak dan Melayu. Jejak akulturasi itu pun masih jamak dan terawat baik hingga kini, salah satunya istana Keraton Amantubillah. Belakangan, kafe-kafe juga mulai tumbuh di Mempawah. Maka hadirnya Lapan Cafe yang berlokasi di Jalan GM Taufik makin menguatkan wajah kekini­an kota itu. Tidak hanya mendanani kafenya dengan panel kayu dan drum bekas, Ary Sandy--sang pemilik juga menampilkan lukisan mural di beberapa ruangan di kafe seluas 40 meter persegi itu.

“Kami memadukan tema urban, minimalis, dan vintage. Tema urban diwa­kili goresan mural. Kami memang ingin tampil beda karena kafe di sini rata-rata hanya mengusung satu tema (desain),” jelas Ary kepada Media Indonesia, Selasa (15/3).

Autodidaktik
Meski banyak memanfaatkan barang bekas, termasuk potongan botol sebagai kap lampu, Ary juga mempertahankan bagian-bagian interior asli. Contohnya teralis dan kanopi jendela yang bergaya klasik. “Kusen, terali, dan kanopi sudah dari asalnya begitu, sebelum kafe berdiri,” jelas pria yang juga berprofesi sebagai jurnalis di media terbitan Pontianak itu.

Ary mengaku merancang sendiri interior dan perabotan kafe. Sementara itu, pengerjaannya dibantu rekannya yang juga mengelola kafe tersebut. Mereka menghabiskan sekitar Rp20 juta selama tiga bulan untuk mendekorasi ruangan beserta isinya. Rancangan kafe dikemas dari hasil belajar secara autodidaktik. Ary rajin berselanjar di dunia maya untuk memperkaya rancangannya. Ide membuat kursi dari drum bekas, misalnya, muncul setelah ia melihat rak sepatu yang terbuat dari bahan serupa. “Dibuat rak sepatu saja bisa, masak tidak bisa dibuat untuk kursi?” ujar pria berusia 26 tahun itu.

Kafe tersebut menempati rumah yang dikontrak selama lima tahun. Ary memanfaatkan ruangan tengah, ruangan depan, teras, hingga halaman depan untuk menjamu pengunjung. Wujud bangunan dan denah ruangan rumah tidak banyak berubah setelah dijadikan kafe. Ruangan hanya didesain ulang agar lebih menarik sehingga membuat betah pengunjung. Bangku dan meja yang tersusun rapi di halaman depan juga semakin meneguhkan perubahan fungsi bangunan tersebut. “Kafe mulai difungsikan sejak 8 September, tapi soft opening-nya pada 26 Desember 2015,” lanjut Ary.

Setiap hari ada sekitar 50 hingga 100 orang yang mampir ke tempatnya. Selain menikmati hidangan, mereka menjadikan kafe itu sebagai tempat tongkrongan baru. Beberapa pengunjung pun tidak lupa mengabadikan kunjungan mereka dan mengunduhnya di media sosial. “Desainnya keren! Bergaya country,” kata Aseanty Pahlevi, 39, pengunjung kafe. Warga Pontianak itu langsung terkagum begitu menjejakkan kaki di tempat itu. Dia pun segera larut dalam laku kekinian, alias ber-selfie ria di salah satu sudut kafe. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya