Nayaka Kabinet Kurawa

Ono Sarwono
13/3/2016 03:00
Nayaka Kabinet Kurawa
()

REZIM Kurawa di Astina di bawah kepemimpinan Prabu Suyudana dikenal sebagai pemerintahan oligarki-pragmatis. Kekuasaan dimanfaatkan untuk mengeruk dan menikmati kekayaan negara sesukanya. Inilah orde paling buruk selama negara itu berdiri. Pemerintahan yang mengantarkan Astina ke bibir jurang kebangkrutan.

Kodratnya, usia kekuasaan Kurawa atas Astina bak seumur jagung. Suyudana tidak bertahan lama di singgasana. Ia bersama adik-adiknya beserta seluruh kroni dan pendukungnya sirna di kurusetra. Mereka tumpas di tangan saudara sepupu, Pandawa, dalam laga Bharatayuda.

Sesungguhnya, bila diselisik, di tengah kelamnya pemerintahan Kurawa, masih ada hal positif yang bisa dipetik sebagai pembelajaran. Salah satunya pada aspek soliditas kabinetnya. Mereka memiliki nayaka (menteri) yang sinergis mengejawantahkan misi perjuangan Kurawa.

Kokompakan kabinet terbangun, pada satu sisi berkat kepemimpinan Suyudana yang lugas. Di sisi lain, semua nayaka mampu menjaga etika dan profesionalisme. Tidak ada yang suka sok keminter (merasa terpintar) yang diumbar di depan publik. Perbedaan pendapat di antara mereka dicurahkan hingga tuntas dalam rapat. Dengan demikian, kegaduhan-kegaduhan hanya terjadi dalam ruang-ruang sidang. Di luar, tidak ada di antara mereka yang mempertontonkan silang pendapat. Semua perbedaan telah dirampungkan dalam sidang. Maka, setiap keputusan yang telah diambil, dihormati sebagai 'fatwa' yang mesti dilaksanakan bersama.

Tipu muslihat

Banyak sanggit dalang yang mengisahkan adanya perbedaan pendapat antarnayaka dalam sidang Kabinet Kurawa. Salah satu anggota kabinet yang kritis ialah Karna Basusena. Dialah yang kerap menginterupsi bila ada kebijakan yang ia nilai miring. Karenanya, tidak jarang ia berdebat sengit dengan sesama nayaka. Namun, bila kebijakan sudah diputuskan dan ditandatangani Suyudana, hanya satu aksi bagi semua nayaka dan pejabat lain di bawahnya di semua level, yakni melaksanakannya. Tidak ada yang lalu giat mancasi atau menjegal di tengah jalan. Tidak ada pula yang kemudian berkoar menjelekkan kolega untuk menggincu citra pribadi.

Pakemnya, bila ada nayaka yang tetap tidak setuju terhadap keputusaan yang diambil, ia tidak akan membeberkannya di depan rakyat. Ia memilih diam. Langkah yang diambil, biasanya, ini pun hanya disampaikan di ruang rapat, pernyataan tidak akan ikut cawe-cawe (terlibat) bila ada risiko yang ditimbulkan dari kebijakan yang diputuskan.

Salah satu contoh kegaduhan yang menyeruak dalam sidang Kabinet Kurawa ketika mereka membahas agenda bagaimana melemahkan kekuatan Pandawa, yang terdiri dari Puntadewa, Bratasena, Permadi, Tangsen, dan Pinten. Usul yang mencuat ialah memereteli Pandawa dengan cara apus krama (tipu muslihat). Yang menjadi target awal ialah Bratasena, yang dianggap sebagai salah satu pilar utama Pandawa.

Ini merupakan skenario besar Duryudana untuk melanggengkan kekuasaannya. Satu-satunya jalan melenyapkan Pandawa dari muka bumi. Dasar keyakinannya, lima kesatria keturunan Prabu Pandudewanata-Kunti/Madrim itu sebagai penghalang utama ambisi politiknya. Cara licik itu dirancang Durna. Momennya saat Bratasena, murid setianya, datang menghadap meminta diwejang ilmu kesempurnaan hidup. Ia akan meminta syarat kepada siswanya itu sebelum menerima ilmu wingit tersebut. Syarat itulah yang diupayakannya sebagai jalan Bratasena menjemput ajal.

Durna akan memerintahkan Bratasena masuk ke belantara Tikbrasara untuk mencari syarat, yaitu tirta perwitasari mahening suci. Padahal, itu tidak ada di hutan tersebut. Di belantara Tikbrasara itulah Bratasena dipastikan mati karena di sana dihuni tidak terbilang binatang buas dan makhluk halus. Ada pula dua raksasa sakti misterius penguasa hutan yang akan memangsa siapa saja.

Suyudana tampak berkenan dengan skenario tersebut. Namun, sebelum mengambil keputusan, sang raja meminta pertimbangan Karna. Terus terang, Karna menegaskan dirinya tidak setuju dengan cara tipu muslihat. Karna mengaku tidak mempermasalahkan kehendak melenyapkan Pandawa yang masih ada hubungan darah dengannya. Namun, seharusnya itu dilakukan dengan cara terhormat, berjiwa kesatria. Kurawa harus berani berperang melawan Pandawa dari depan, bukan menusuk dari belakang. Dengan lantang Karna menyatakan bahwa apus krama merupakan tindakan yang melecehkan harga diri Suyudana. Itu hanya pantas dilakukan para pecundang, pemiris, dan pengecut. Kurawa, Karna mengingatkan, ialah titah berdarah Abiyasa, raja berjiwa begawan kekasih dewa. Karenanya, tidak selayaknya berjuang merengkuh dan mempertahankan kekuasaan lewat cara-cara hina.

Sebelum Suyudana menanggapi, Sengkuni meminta maaf sambil menyela meminta waktu. Menurut pandangannya, berpolitik itu yang penting hasilnya. Cara atau metode apa pun sah-sah saja. Ia menyatakan tidak ada gunanya berpolitik dengan cara-cara kesatria tapi tiada buahnya.

Karna menimpali. Ia meminta Sengkuni untuk menjaga muruah Suyudana sebagai raja. Setiap nayaka, ucapnya, mesti meluhurkan nama baik sang raja sekaligus para leluhur Astina yang membangun negara dengan nilai-nilai kemuliaan. Kekuasaan jangan sampai membutakan nurani.

Sengkuni lalu menyahut, tanpa 'metode khusus', Kurawa tidak akan bisa mengenyam kenikmatan hidup. Itulah yang ia perjuangkan sejak awal hingga mengantarkan Suyudana menduduki dampar kencana (takhta) Astina. Maka, segala cara harus dilakukan karena ini urusan antara hidup dan mati. Ia tidak bisa membayangkan nasib keluarga Kurawa yang berjumlah seratus orang bila tidak berkuasa.

Bingungkan rakyat

Perang mulut antara Karna dan Sengkuni dalam kisah itu tidak menemukan titik temu. Keduanya bertahan pada sikap masing-masing. Namun, setelah Suyudana mengambil keputusan, tidak ada yang membantah, semua harus melaksanakannya dengan serius. Tidak ada yang lalu di luar mengecam satu sama yang lain, menyatakan dirinya paling benar.

Perbedaan pendapat atau perdebatan di antara nayaka Kabinet Kurawa merupakan kelumrahan. Namun, mereka tidak sampai clemongan atau ngomong di mana-mana, tidak sampai tumpah di ruang publik. Ini seperti etika yang mereka bangun dan junjung serta hormati bersama.

Inilah sekelimut nilai yang bisa dipelajari dari Kurawa. Dalam konteks ini, memang tidak elok bila sesama anggota kabinet di negeri ini berpanjang-panjang, berbusa-busa berdebat di ruang publik tentang suatu masalah. Ini sungguh membingungkan rakyat. Lebih dari itu, efek ketidaakuran mereka yang dipamerkan secara telanjang di depan rakyat, selain menggerus kewibawaan pemimpin, juga merapuhkan soliditas kabinet. Pada gilirannya itu mengganggu pencapaian target-target pembangunan. Kalau demikian, yang dirugikan rakyat. Bagi pejabat dan elite negara, tidak ada tindakan mulia selain pengabdian dan pengorbanan demi kesejahteraan rakyat. (M-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya