KEMAJUAN teknologi yang memasuki era digital berpengaruh terhadap industri musik. Era kaset (pita rekaman) bahÂkan telah lama gulung tikar. Toko kaset besar macam Aquarius pun ikut tergerus dan menutup usahanya. Ironisnya, perpindahan dari pita rekaman ke keping cakram (CD) yang kemudian berganti ke digital tak lantas membuat pelaku industri musik semringah. Kehadiran para lanun (pembajak) justru membuat posisi mereka kian terdesak.
Pada kondisi inilah dibutuhkan strategi baru, terutama dalam hal pemasaran. Dari mulai menggandeng rumah makan hingga menjajakannya lewat minimarket. Kini bahkan ada satu cara unik yang dilakukan Aquarius Music, yakni dengan merilis album keroyokan dari empat band asuhan mereka, yakni Utopia, J Rocks, D’Cinnamons, dan Nine Ball bertajuk 4 on Stage. Dalam album tersebut mereka menyumbangkan lagu-lagu baru.
Menurut Direktur A&R AquaÂrius Music, Suwarso Widjaya, cara seperti ini kali pertama dilakukan. Sebelumnya Aquarius menyerahkan itu kepada manajemen band masing-masing. "Kami ingin merilis album dengan cara yang berbeda. Jadi, 4 on Stage ini merupakan event terbesar kami untuk memperkenalkan apa yang sudah mereka (band) kerjakan sekaligus ajang silaturahim," kata SuÂwardi kepada awak media, di Graha Bakti Budaya, Rabu peÂkan lalu.
Album ini bermaksud memperkenalkan single-single terbaru dari keempat band itu. Aqurius termasuk label besar yang ikut tergerus kemajuan teknologi.
Sebelumnya mereka terpaksa menutup toko kaset dan CD-nya di Bandung (2009), Surabaya (2010), dan Jakarta (Pondok Indah 2010 dan MahaÂkam 2014) lantaran angka penjualan semakin turun drastis ketika era ring back tone (RBT) merajai strategi pemasaran. "Saat itu pasar yang bagus adalah RBT, toko Aquarius juga harus tutup karena tidak cocok lagi dengan tren marketnya. Saat ini kita bisa buat di itunes," ujar Suwarso.
Bentuk fisik Tren membeli karya dalam benÂtuk fisik pun kian terpuruk saat itu. Karya dalam bentuk fiÂsik mengalami pasang surut. Namun, saat ini agaknya para musikus, khususnya mereka yang berada di jalur independen, sedang bersemangat menggaungkan budaya membeli karya dalam bentuk fisik (vinyl/kaset/CD).
Beragam cara mereka gunakan untuk mengambil simpati para pecinta musik. Mulai dari menjadikan CD sebagai merchandise hingga menjualnya secara langsung kepada calon pendengar. Seperti yang dilakukan Blotymama dengan menjual 200 keping CD dalam tiga hari di acara Java Jazz Festival beberapa waktu lalu.
Fenomena ini mau tidak mau menuntut para talent ataupun manajemennya untuk lebih kreatif memanfaatkan berbagai saluran pemasaran
Menurut Head of Organic Records, Ajisaurus, yang menaungi Maliq & D’Essentials pun mengakui haÂrus berkolaborasi dengan teknologi, brand activity, hingga membuat acara Jazz Night. Hal itu semua dilakukan terkait aktivitas promo untuk membuat produk mereka bertahan di inÂdustri musik.
"Kami melihat adanya budaÂya pop dengan kembalinya tren vinyl dan kaset, maka kami memÂbuatnya untuk dijual. KaÂmi kemudian juga menerapkan sistem direct selling yang dilaÂkuÂkan musisinya atau melalui diÂvisi merchandise," ungkapnya (M-6)