Lukisan lalu Wastra

Iwan J Kurniawan
03/5/2015 00:00
 Lukisan lalu Wastra
(MI/IWAN J KURNIAWAN)
NAMA besar pelukis Made Wianta, 65, memang sudah tak asing lagi dalam bentala seni rupa Indonesia. Karya-karyanya selalu mendapatkan perhatian khusus, baik dari pemerhati seni, kritikus, maupun kolektor di Tanah Air.

Eksistensi Wianta dalam berkesenian membuat kolektor pun berburu karyanya. Artinya, karya seniman asal Tabanan, Bali, itu sudah menjadi dagangan di galeri. Tentu saja, pihak galeri mana pun perlu mendapatkan karya-karya terbaik pelukis. Itu bertujuan mendongkrak popularitas seniman dan nama galeri sendiri.

Karya-karya Wianta pun sudah tersebar ke berbagai galeri dan museum. Di dalam negeri, karyanya bisa dilihat seperti di Agung Rai Museum of Art, Ubud, Bali, dan Oei Hong Djien Museum, Magelang, Jawa Tengah. Atau, di luar negeri, karyanya ada seperti di Japan Railway Cultural Foundation, Tokyo, Jepang, dan Museum Der Culturen, Basel, Swiss.

Setidaknya, nama Wianta masih menjadi obrolan hangat. Apalagi, nilai karya lukisnya mencapai miliaran rupiah. Tentu saja, karya lukis yang telah berpindah tangan ke galeri sudah menjadi milik pribadi sehingga jika dipamerkan secara kolektif, akan berbeda suasana dan atmosfer dengan pameran tunggal.

Kini, lewat pameran koleksi lukisan dan wastra (tenun) bertajuk Small Bites di Galeri Apik, Jakarta Selatan, Jumat (25/4) hingga Senin (25/5) mendatang, pengunjung bisa menyaksikan karya-karya Wianta. Ada unsur kehidupan sosial dan budaya Bali yang menjadi corak spesial.

Namun, itu bukan pameran tunggal sebagaimana pameran Wianta di Gaya Fusion, Ubud, Bali (2005) atau Transformation of Nature di Equrna Gallery, Ljubljana, Slovenia (2011) dahulu. Pameran kali ini lebih bersifat koleksi galeri yang diperuntukkan umum. Selain karya Wianta, ada koleksi karya pelukis lainnya, antara lain Amri Yahya, Soenaryo, Soedibio, dan Nasirun.

"Pameran ini bukan untuk menjual koleksi. Kami ingin menyajikan lukisan dengan tenun. Karya-karya (lukisan), khususnya, dihadirkan agar masyarakat bisa melihat karya pelukis ternama, baik yang sudah pergi maupun yang masih ada," ujar Rahmat, kolektor sekaligus pemilik Galeri Apik, pekan lalu.

Kehadiran pameran itu memberikan sinyal positif. Koleksi perlu untuk dipertontonkan lagi sebagai cara mendukung pasar seni rupa Indonesia.

Namun, penggabungan tenun dan lukisan memang bukan hal baru dalam suatu pameran seni rupa. Beberapa galeri di Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya pun pernah melakukan pameran dengan menggabungkan kedua unsur itu. Di Bandung, misalnya, itu sering digelar di Selasar Sunaryo Art Space atau di Museum Widayat, Magelang. Para seniman di sana juga pernah menggabungkan antara seni rupa dan tekstil sebagai bentuk untuk merespons perkembangan dunia seni.

Kendati demikian, masih ada anggapan pesimistis terhadap cara itu. Sebagian pelaku seni kerap menganggap pameran koleksi menunjukkan pihak galeri tidak piawai dan miskin tema dalam melakukan kegiatan pameran. Namun, bagi Rahmat, penggabungan antara lukisan dan wastra sesungguhnya untuk mengangkat khazanah budaya yang bersifat kelokalan.

"Untuk wastra, kami sajikan karya koleksi rekanan. Ada 34 potong tenunan dan 24 lukisan di pameran kali ini. Semuanya tidak dijual di sini," ungkapnya.

Koleksi terbaik
Terlepas dari konsepnya, ada hal unik dalam pameran kali ini. Manajemen Galeri Apik ingin menunjukkan koleksi terbaik. Itu sebagai bentuk eksistensi galeri tersebut menyuguhkan program acara seni kepada pengunjung setia mereka. "Pameran koleksi seperti ini banyak dilakukan. Kami mengangkat karya para pelukis kawakan karena memang karya mereka tak pernah habis diperbincangkan," tegas Rahmat.

Namun, di tempat terpisah, pelukis Syahnagra Ismail mengaku miris dengan galeri-galeri akhir-akhir ini. Ia menyayangkan pihak yang memamerkan lukisan koleksi kepada khalayak umum. "Makanya, sekarang ini saya sangat hati-hati dengan karya saya. Ada kecenderungan galeri memamerkan koleksi lukisan mereka ketimbang karya terbaru pelukis," ungkapnya.

Kurator independen Chandra Johan menilai pameran koleksi lukisan memberikan sumbangsih. Pasalnya, karya seniman, yang sudah meninggal atau pun masih hidup, tetap mendapatkan apresiasi. "Pada setiap pameran pastilah ada transaksi. Galeri-galeri kecil butuh menjual koleksi mereka untuk biaya operasional," jelas Chandra.

Lewat penggabungan antara lukisan dan wastra, sejatinya ada nilai-nilai penting yang dapat dipetik. Pertama, kolektor maupun pemilik galeri mencoba menggabungkan lintas karya. Kedua, adanya kecenderungan melestarikan wastra, baik tenun, batik, maupun songket. Ketiga, ada transaksi . Karya-karya koleksi di pameran Small Bites benar-benar menggigit. Ada lukisan, lalu wastra. (M-6)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya