Empat Pulau Banyak Pesona

Siti Retno Wulandari
30/4/2015 00:00
Empat Pulau Banyak Pesona
(MI/Siti Retno Wulandari)
BERMANDI terik matahari dan bermain angin, itu yang saya dan Nina, seorang kawan jurnalis, lakukan di atap kapal cepat yang berlayar dari Pelabuhan Sorong menuju Pulau Waigeo, Raja Ampat. Kami terlampau gembira mendapati kesempatan menjejak sepotong surga di Papua Barat itu.

Karena itu, duduk di kursi sofa dengan pendingin ruangan bukanlah pilihan kami untuk menikmati setiap detik perjalanan laut. Awalnya petugas kapal tidak memperbolehkan kami naik ke atas, mereka takut syahbandar akan memberhentikan perjalanan kapal.

Namun, setelah mengarungi laut selama 30 menit, ia pun memperbolehkan para pelancong yang ingin melihat setiap detik perjalanan menuju Raja Ampat. Angin kencang mengoyak rambut dan menampar wajah, kami pun harus merangkak agar tidak goyah diterpa angin.

Kami menyesap setiap bau laut yang dibawa angin, ratusan burung terbang melintas, gugusan pulau-pulau kecil nyata di hadapan kami. Seorang perempuan berambut gimbal dengan jaket kulit cokelat, dan berkacamata lebar, sedari tadi memperhatikan kami, ia tertawa melihat gelagat kami yang tak henti memuja keelokan alam tempat tinggalnya.

''Hati-hati kakak, anginnya kencang sekali. Handphone jangan ditaruh di lantai, bisa kabur terbawa angin nanti ha ha ha,'' ucap pemilik nama Yuning Fontaba membuka perkenalan.

Ia pun mulai membantu kami mengeja nama pulau yang berada dalam bentangan Raja Ampat. Jarinya menunjuk tiga pulau yang terlihat menjadi satu, Pulau Kri, Pulau Mansuar, dan Pulau Yenbekwan.

''Jika sudah terlihat menyatu, perjalanan akan segera berakhir,'' kata Yuning. Raungan mesin feri perlahan melemah, hanya bunyi pecahan ombak yang menabrak sisi kapal mengantar para pelancong keluar menjejak dermaga Pelabuhan Waisai. ''Mampir ke rumah ya nanti, saya buat cinderamata dari pasir, kakak,'' ucap Yuning sembari melambaikan salam perpisahan.

Kerlip Kota Raja Ampat
Sebelum menikmati koral, aneka ikan, dan panorama Raja Amapat yang memukau, Evony dari Bank Central Asia (BCA) yang mengundang saya ke sini, mengajak menyusuri senja hingga malam di Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat yang terletak di bagian barat Pulau Waigeo.

Kami ditemani Zakarias Wader, 37, seorang nakhoda kapal yang sore itu merangkap menjadi pemandu. Kami langsung membuka kaca mobil berharap diterpa angin kota. Tiang tinggi dengan lempeng datar di bagian atasnya menarik mata kami. Jumlahnya sangat banyak. Peranti itulah, kata Zaka, yang menangkap cahaya matahari untuk kemudian disimpan sebagai energi listrik, salah satu sumber tenaga yang menghidupkan Waigeo.

Zaka melajukan mobil dan berhenti sejenak di depan pantai yang dinamai WTC oleh penduduk lokal. ''Ini tempat favorit warga di sore hari, banyak acara yang diadakan di sini,'' ujarnya sembari melajukan mobil meninggalkan pantai yang bersih itu, menyusuri jalanan nan lapang yang beraspal baik, serta rumah-rumah yang tertata rapi.

Sebagian wajah Waigeo memang sudah dibenahi, sedangkan di sebagian wilayah lainnya, pembangunan masih dijalankan.

Tak perlu khawatir dengan pasokan makanan di sini. Ada warung makan pecel lele surabaya, soto ayam lamongan, hingga bakso wonogiri tersebar di Waigeo.

Ya, Waigeo kini telah menjadi kawasan bertemunya aneka kultur, para pendatang mengadu peruntungan di aneka bisnis, seiring dengan geliat kehidupan ekonomi dan gairah wisata Raja Ampat.

''Itu Masjid Agung Waisai habis diperbaharui, tempat lomba MTQ kemarin,'' ujar Zaka menunjuk bangunan masjid permanen.

Raja Ampat rupanya berasal dari kata empat raja, sebab di kabupaten tersebut, terdapat empat pulau besar yaitu Pulau Misool, Pulau Waigeo, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta.

Setelah udara makin gelam, kami pun berbalik menuju penginapan, pulau ini telah makin senyap. Bunyi kawanan jangkrik dan kodok pun mengantar istirahat malam kami di Waigeo Resort, di kawasan cagar alam pulau ini. (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya