Ove, Lelaki yang Kehilangan Warna

Hera Khaerani
06/3/2016 15:23
Ove, Lelaki yang Kehilangan Warna
()

BELUM pernah saya membaca buku yang mengisahkan upaya seseorang untuk mengakhiri hidupnya yang justru membuat saya tertawa. Setidaknya itu yang saya dapatkan saat membaca A Man Called Ove yang ditulis Fredrik Backman.

Dalam percobaan pertamanya, Ove sudah berusaha menyiapkan semuanya dengan saksama. Dia memilih pengait yang tepat untuk beton yang dipastikan kuat karena dia telah memasangnya sendiri. Jadi, bila ada satu hal yang bisa dipastikan terjadi tentang pengait itu, ia akan kuat bertengger dan bisa menahan bobot tubuh Ove. Dia berniat mengakhiri segalanya dengan gantung diri.

Memang pengait itu tidak berpindah dari tempatnya di langit-langit, tetapi Ove terbaring telentang di bawah. Lelaki yang gagal bunuh diri itu langsung mengucap sumpah serapah dengan berang. Dia melihat tali yang terputus. ''Masyarakat ini, apa tidak bisa lagi mereka membuat tali? Bagaimana mungkin kau bisa keliru membuat tali?''. Ove yang berusia 59 tahun sangat sering menyampaikan sumpah serapah. Baginya, orang-orang zaman sekarang makin tidak kompeten dan malas untuk mempelajari hal-hal remeh yang dulu dipelajari orang sepertinya. Mereka lebih suka mengandalkan teknologi yang serbaotomatis. Belum lagi dalam hal menaati peraturan, mereka dipandang Ove tidak bisa diandalkan. Kebiasaannya itu membuat Ove dianggap kaku dan pemarah oleh orang-orang di sekitarnya. Bahkan, banyak yang tidak paham mengapa Sonja mau menikahinya. Padahal, selain cantik, perempuan itu cerdas, penyayang, dan ceria. Ia begitu hidup. Sonja begitu berwarna dan dia menjadi warna bagi Ove.

Enam bulan setelah Sonja meninggal dunia, Ove masih memeriksa seluruh rumah dua kali sehari untuk merasakan panasnya semua radiator. Dia mengecek semuanya karena istrinya biasa menaikkan suhu diam-diam, sekali pun Ove selalu menggerutu kebiasaan
itu akan membuat perusahaan listrik menagih lebih banyak uang kepadanya.

Di lain kesempatan, dia berjongkok di antara tanaman di halaman dan meletakkan tangan dengan hati-hati di atas batu besar, lalu membelainya lembut dari kiri ke kanan seakan sedang menyentuh pipi istrinya. ''Aku merindukanmu,'' bisik lelaki yang kehilangan warna dalam hidupnya itu (hlm 47).

Jatuh hati pada Ove
Berkali-kali Ove mencoba bunuh diri dan berkali-kali pula dia harus pasrah menerima kegagalan. Padahal, satu-satunya yang dia inginkan ialah menyusul Sonja yang telah berpulang lebih dulu. Dia merasa telah kehilangan alasan untuk hidup.

Terjemahan novel A Man Called Ove yang di terbitkan Noura Books menyajikan kisah yang mengajak tertawa, menangis, dan memandang manusia dengan cara yang berbeda. Backman, sebagai penulis, tidak berusaha keras menghadirkan karakter serba hebat yang layak dikagumi, tetapi rasa itu sulit ditepis seiring dengan kita membaca lembaran kisah dengan plot maju mundur itu. Pada akhirnya, mudah saja bagi pembaca untuk bersimpati kepada karakter temperamental tersebut. Dalam kasus itu, akan saya akui saya jatuh cinta pada karakter Ove, tak peduli seberapa pun temperamentalnya lelaki itu.

Kita diajak untuk memahami Ove sebagaimana Sonja memahaminya. Sebagai contoh, perempuan berhati hangat itu tahu bahwa Ove berbohong ketika pertama kali berkenalan dan mengaku sedang mengikuti wajib militer. Meski begitu, Sonja berkata (hlm 200), ''Konon, lelaki terbaik lahir dari kesalahan mereka sendiri dan mereka sering kali menjadi lebih baik setelahnya, melebihi apa yang bisa mereka capai seandainya tidak pernah melakukan kesalahan.''

Buku penulis asal Swedia itu wajib dibaca, terutama di masa seperti sekarang ketika orang mudah sekali menghakimi orang lain dan menebar kebencian terhadap orang lain. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya