Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
LAIN dari biasa. Pengunjung Galeri Nasional Indonesia lazimnya masuk ruang pamer Gedung A dari pintu depan yang berada tepat sesudah taman. Kali ini, pengunjung harus masuk dari pintu belakang Gedung A. Pintu serta depan diubah menjadi layaknya halaman belakang rumah, berbaur satu dengan sumur dan lumbung kayu bakar. Setidaknya selama dua minggu, 1-15 Maret 2016, pengunjung harus bersabar taat dengan aturan itu sebab pameran tunggal Hanafi sedang digelar. Dalam pameran bertajuk Pintu Belakang | Derau Jawa,
para penikmat seni bakal dijamu dengan suguhan ragam estetis berupa lukisan dan instalasi.
Terlihat dari diksi judul, pentas karya ini memang sengaja berbicara tentang Jawa. Bukan dalam pengertian geografis, melainkan Jawa sebagai 'bungkusan identitas'. Tema Derau Jawa mengandaikan tafsiran adanya ‘Jawa’ sebagai bunyi atau suara dominan, sumber tunggal, resmi, dan sahih, sedangkan dalam pameran ini, Hanafi coba menangkap bunyi selain yang dominan (noise). "Hanafi menyusun Jawa dengan caranya sendiri, di mana derau-derau-narasi-narasi yang tak diinginkan, dalam bentuk mitos, legenda, fiksi—berkelindan dengan data, fakta, maupun narasi sejarah itu sendiri," terang kurator Agung Hujatnikajennong. Pintu belakang pun menyimbolkan imajinasi lain tentang Jawa. Dalam masyarakat Jawa terkait dengan istilah ‘jalan belakang’ untuk berbagai hubungan informal tanpa publik. “Kalau keluarga tidak masuk dari pintu depan, tapi pintu belakang,” terang Hanafi di sela pembukaan pameran. 'Pintu belakang' adalah salah satu metafora yang dipakai cara untuk melihat kembali kenyataan ‘Jawa’. Jika pintu depan berbau serbaformal, pintu belakang lekat dengan serbainformal.
Metafora
Sejumlah 'frekuensi derau' coba diungkap oleh pameran ini. Hanafi melukiskan objekobjeksebagai metafora. Ia menghadirkan metafora untuk masuk pada narasi yang nyaris terlupakan serta menampakkan simbol yang tercecer dan mitos dianggap sebagai derau dalam narasi-narasi tentang Jawa kontemporer. Seperti pada karya Nomor Rumah tidak Ada di Pintu Belakang (2016) yang meneguhkan narasi tentang pintu belakang, Ajisaka; Melihat dari Bawah (2015) yang menampil derau mitos Ajisaka yang pernah belajar agama di Mekah, Bade Tindak Pundi Nopo (2016) kala menampilkan binatang ‘entung’ yang menarasikan penunjuk arah, atau Error+Noise yang coba membingkai peristiwa 1965.
Menarik untuk memperhatikan karya instalasi Demografi dalam Bakiak (2016). Hanafi meletakkan 150 bakiak bertuliskan nama-nama Jawa, yakni Painem, Darsono, Boinem, Ponijo, Dalhari, dan Sukidulit. Bakiak itu ditempel pada bangunan piramida yang merupakan prototipe Makam-Makam Raja Imogiri. Berada paling atas dari semua bakiak malah tertulis nama Mujiharto. Nama itu bisa dibaca dengan muji harta. "Saya tidak sengaja menempatkan bakiak dengan nama itu," tegas Hanafi . Tidak terlepas dari pribadinya sebagai orang Jawa yang lahir di Jawa beserta tradisi, budaya, mitos, dan sosial masyarakat, Hanafi ingin menengok kembali Jawa dengan kacamata seninya. Inilah kacamata Hanafi dalam melihat Jawa. Ia banyak melandaskan karya pada isu dan narasi tentang Jawa. Ia tidak menampilkan karya berbasis objek benda sebab yang dituju Hanafi ialah pemaknaan baru atau malah kemungkinan makna. (Abdillah M Marzuqi/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved