Membumikan Batik Perlawanan

06/3/2016 07:31
Membumikan Batik Perlawanan
(Grafis ebet)

PULUHAN kain batik mentah dikeringkan di tempat penjemuran salah satu tempat usaha batik di Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur. Kain batik yang dijemur itu baru saja dilakukan proses perendaman di air panas untuk menghilang kan malam. Bila diamati, kain yang masih terlihat berwarna kemerahan itu memiliki motif yang tidak seperti kebanyakan batik lain di Madura. Biasanya, batik madura memiliki motif daun, serat kayu, air hujan, burung, dan motif lain yang selama ini dikenal sebagai pakem batik. Namun, yang terlihat pada motif batik yang ada di salah satu perajin di desa yang dikenal sebagai sentra batik madura itu bermotifkan perahu, ombak, sepeda,
wajah, dan beberapa gambar di luar gambar yang lazim digunakan sebagai motif batik.

Di Madura, saat ini telah banyak beredar batik dengan 'motif aneh', berupa motif yang sebelumnya tidak pernah dipakai sebagai ‘kelir” dalam batik, selain muncul juga batik lukis. Yang saat ini sedang menjadi tren di antaranya motif monumen Arek Lancor, sebuah monumen yang menjadi simbol perlawanan masyarakat Madura terhadap penjajah serta motif yang tidak jelas dan terlihat sebagai lukisan abstrak. Motif lainnya ialah kerapan sapi yang menjadi bentuk protes terhadap kondisi kebudayaan tersebut yang cenderung diwarnai perjudian dan aksi kekerasan terhadap binatang. Masykur, seorang perajin batik tulis di Kelurahan Kowel, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, mengatakan saat ini para
pebatik mulai menghindari pakem-pakem yang selama ini menjadi acuan dalam membatik.

'Motif keratonan' atau 'motif mataraman' itu dinilai terlalu mengikat kreativitas para perajin. "Awalnya kami berkeyakinan, yang namanya motif batik ialah motif warisan kerajaan itu. Namun, akhirnya kami mencoba lepas dari pakem itu dengan membuat motif lain," katanya, awal Februari lalu. Menurut Masykur, keberadaan pakem itu tidak lepas dari sejarah batik sebagai pakaian para petinggi kerajaan di masa lalu. Begitu pula dengan motif yang digunakan, seperti motif sekar jagat, junjung drajad, dan burung merak. Motif batik Motif itu juga disandarkan dengan mitosmitos. Misalnya, motif batik kawung yang memiliki makna subur, toron ojhan (udan liris) yang menjadi simbol kemurahan
rezeki, truntum yang merupakan simbol ketenteraman, dan kembang kenikir yang bermakna penolak bala.

Pakem atau aturan tentang motif itu terkesan begitu mengikat dan seperti menjadi aturan tidak tertulis yang harus dipatuhi para perajin dan konsumen sehingga satu hasil produksi akan dianggap sebagai batik apabila masih berada di dalam pakem tersebut. Bagi sebagian para perajin, jelas dia, batik ialah proses dan bukan pada motif sehingga apa pun gambar yang digunakan sebagai motif, asalkan dibuat dengan proses yang selama ini disebut dengan membatik, hasilnya tetap bisa disebut batik. "Bagi kami, batik bukan lagi hanya menjadi simbol identitas, tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap kemapanan," kata Mahmud, salah satu pelaku usaha batik di Desa Larangan Badung, Kabupaten Pamekasan. Pemerhati batik tulis Pamekasan, Taufi - kurrahman, mengatakan tindakan melepaskan diri dari pakem di kalangan pebatik itu tidak bisa lagi dibendung di era industri. Sebab, mereka tidak bisa lagi hanya berdiri di koridor kebudayaan, tetapi juga sudah memiliki kepentingan ekonomi. "Beda dengan para pebatik di masa kerajaan yang memang mengabdi pada tradisi. Tapi saat ini para perajin itu dituntut untuk berkreasi agar hasil produksi mereka tidak jumud atau stagnan,” kata Taufi k. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya