Komunitas, Keguyuban yang Membahagiakan

Hera Khaerani
28/2/2016 10:10
Komunitas, Keguyuban yang Membahagiakan
(Dok.MI)

Dengan ditemani embusan angin laut di kawasan Ancol dan Pulau Seribu, Jakarta Utara, Minggu (21/2), dua komunitas sedang sibuk mengeksekusi kegiatan yang pekan-pekan sebelumnya telah mereka persiapkan, baik pendanaan maupun pembagian tugas.

Di Pasar Seni, Ancol, Komunitas Taufan menggelar Charity Art Festival (CAF). Kanker pada anak yang semula jadi wahana perjuangan 30 pasien dan keluarga kemudian merekatkan banyak orang dari aneka latar belakang untuk saling berkontribusi.

Anak-anak dengan kanker, orangtua, relawan, donatur, juga publik punya semangat sama, yaitu berjuang dan berbagi untuk kehidupan. Energi bertahan dan berikhtiar untuk mencari kesembuhan dengan menjalin kolaborasi lewat banyak pihak itu digagas Dewi Mulyaningsih, 38.

Dewi kehilangan anaknya, Taufan, yang meninggal dunia setelah 2 tahun berpe­rang melawan leukemia tipe AML (acute myelogenous leukemia). Mama Taufan, begitu perempuan itu biasa disapa, mengubah dukanya menjadi semangat mendirikan Komunitas Taufan. Ia menghimpun relawan dan donatur yang ingin berkontribusi buat anak-anak yang tengah berjuang dengan kanker dan penyakit berat lainnya.

Akhir pekan lalu, pada kegiatan CAF, dari aktivitas lukis sketsa wajah dan pelatihan tie dye, terkumpul donasi. Di pulau berbeda, di kawasan yang sama, semangat guyub yang didasari kecintaan pada alam menjadi alasan Banyumas Wildlife Photography jauh-jauh datang ke Pulau Rambut, Kepulauan Seribu, setelah menempuh perjalanan menggunakan kereta api dari Stasiun Purwokerto, Jawa Tengah. Mereka melakukan treking hingga memantau burung dari menara pengamatan.

Akhir pekan memang selalu menjadi hari-hari sibuk buat para anggota komunitas. Kumpulan orang-orang yang disatukan minat, kesukaan, dan kepentingan yang sama berjumpa. Orang dengan aneka latar belakang melebur dalam aneka aktivitas seru yang kemudian mereka bagi di Instagram dan Facebook masing-masing.

Komunitas untuk beasiswa
Alasan para pelajar, mahasiswa, orang kantoran, perempuan karier dan ibu-ibu rumah tangga ikhlas meluangkan waktu dan energi untuk berkomunitas dikisahkan Asep Kambali. Pendiri Komunitas Historia Indonesia (KHI) dan Paguyuban Asep Dunia itu berkisah setiap orang punya alasan berbeda mengikuti komunitas tertentu.

Bukan semata karena terlibat dalam aktivitas bersama, keanggotaan dalam komunitas itu memang menjadi nilai plus karena dianggap melatih pengalaman berorganisasi selayaknya berbagai organisasi.

KHI, yang menghimpun pecinta sejarah dan budaya Indonesia yang didirikan 2003, memang banyak melakukan kegiatan sosial dan keaktifan di KHI yang dianggap bisa ‘memoles’ daftar riwayat hidup.

Namun, tentu saja banyak juga yang murni mengikuti komunitas lantaran mencari teman dengan kesamaan minat, hobi, ataupun idealisme.

Alasan bertemu
Meski tidak ada rumusan baku soal apa itu komunitas dan kategorisasinya, CEO Sebangsa Enda Nasution menyebutkan ada empat jenis komunitas.

Ada yang fan based, komunitas berdasarkan kesukaan. Contohnya komunitas penggemar Michael Jackson dan pengguna produk tertentu.

Basis lainnya event based, yakni terbentuk karena penyelenggaraan acara, seperti komunitas lari atau konser jazz. Lalu ada activity based, yang mengumpulkan orang-orang dengan aktivitas sama, seperti mendongeng dan mewarnai. Ada pula yang berbasis kampanye, semisal Hari Peduli Sampah Nasional lalu.

Mencari arah
Mengutip hasil riset yang dituangkan dalam buku Psychology Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century, psikolog Roslina Verauli menyoroti manusia modern amat membutuhkan arah dalam hidupnya. "Orang mencari arah tentang cara mencapai kebahagiaan, kepuasan hidup. Ketika mencari arah itu, penting untuk merasa terkoneksi dengan orang sekitar kita," ujar Roslina ketika dihubungi Jumat (26/2).

Apa pun jenis komunitasnya, semua menawarkan kehangatan. "Kaum urban cenderung mencari kehangatan sosial. Itu naluri semua makhluk hidup, apalagi manusia," terang sosiolog Thamrin Tomagola. Ia pun mengingatkan, kesendirian secara ekstrem bisa mematikan.

Hal itu, tekannya, bahkan terjadi di negara-negara maju yang terkesan individualistis. Contoh pola-pola komunitas dan hidup ialah hadirnya perkumpulan fotografer amatir dan pengamat burung. Ketika diversifikasi terjadi di masyarakat, komunitas lahir untuk mengumpulkan orang-orang dengan kesamaan. "Ini untuk menjaga kewarasan sosial karena kalau terlalu terpisah dari kumpulan manusia lain, tidak sehat secara sosial," imbuhnya. Termasuk dari elemen penunjang kewarasan sosial yang bisa dilatih di komunitas ialah kemampuan bergaul, berbicara, dan bersosialisasi.

Masyarakat positif
Thamrin Tomagola menyadari selama ini komunitas lahir secara swadaya. Baginya, kehidupan komunitas memang layak dibiarkan menjadi ranah masyarakat. Ketika masyarakat aktif berkegiatan bersama, mereka bisa mengurangi kecenderungan negatif dan kriminalitas. "Ketertiban dan keamanan terjamin karena orang disibukkan dengan kegiatan yang positif," pikirnya.

Hal ini diamini Asep Kambali. Dengan pola komunitas sekarang ini yang lintas batas wilayah, kota, bahkan negara, orang-orang memang bisa saling berkenalan dan aktif di luar lingkungan tempat tinggal. Meski demikian, menurutnya, orang-orang yang aktif di komunitas umumnya berkemampuan sosial yang baik. Jadi, mereka mestinya juga piawai menjaga hubungan baik dengan tetangga di tempat tinggalnya. (M-1)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya