Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
DARI awalnya murni berbisnis, Indra Noviansyah membuat para mitranya menjadi pahlawan di daerah masing-masing lewat sistem sampah sebagai alat bayar.
Banyak orang mengibaratkan masalah sampah di Indonesia sebagai penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Namun, Indra Noviansyah justru menjadikan sampah bisnis yang menggiurkan dan bisa jadi motor di banyak daerah. Berikut penuturan CEO Limbahagia itu untuk menjadikan sampah sebagai barang bernilai.
Mengapa dinamakan Limbahagia?
Awalnya memang enggak ada nama, tapi lama-kelamaan saya merasakan enaknya rezeki dari hasil limbah ini. Saya merasakan profi tnya lumayan. Jika beli sampah Rp1.000 jualnya bisa Rp8.000, artinya jika modalnya Rp10 juta hasilnya bisa Rp80 juta. Di saat orang memilih bisnis yang keren-keren, saya malah nyebur ke situ. Menurut saya, limbah ini membawa kebahagiaan, jadi saya bilang Limbahagia.
Apakah ini murni bisnis atau ada misi sosialnya?
Jujur saja, awalnya ini tidak ada sama sekali aksi sosial, sepenuhnya saya ingin berbisnis. Bisnis ini adalah bisnis yang enggak perlu pusing jualnya ke mana. Jika sudah ada botol dan cacahan plastik, orang rebutan untuk beli, apalagi pasarnya ekspor ke Tiongkok atau Malaysia. Di satu sisi sampah banyak, tapi di sisi lain saya butuh sampah sebanyak-banyaknya. Sedikit kapitalis juga karena saya membeli sampah dari masyarakat. Dengan berjalannya waktu, banyak yang menyebutnya dengan aksi sosial, akhirnya kita terjun sekalian di situ, bahkan saat ini kita sudah punya 35 cabang pabrik se-Indonesia. Pabrik itu untuk sementara pusatnya ada di Semper, Jakarta. Salah satu cabangnya ada di Brunei. Tahun ini akan buka di Bangkok, Filipina, dan Malaka. Di sana kita ambil juga sampahnya, intinya saya menjual peralatan dan ajari berupa pelatihan, hasilnya saya beli.
Bagaimana sistem pengelolaan di 35 pabrik itu?
Saya hanya menjadi fasilitator mereka. Sebanyak 35 pabrik itu mempunyai cara masing-masing. Di Solo, misalnya, mereka punya rumah sakit yang dibayar dengan sampah. Di daerah Kalimantan mempunyai supermarket yang belanjanya dengan sampah, ada pula di Situbondo yang menggagas sekolah pakai sampah. Setiap cabang ini menjadi hero (pahlawan) di daerahnya sendiri. Saya hanya memfasilitasi dengan memberi mesin. Saya juga berikan pelatihan komitmen dan hasilnya 100% saya beli. Jadi mereka mengumpulkan sampah yang hasilnya bisa dibayarkan bulanan. Jadi ada input bisnisnya karena aksi sosial tidak akan berjalan tanpa uang.
Cara pengumpulan sampahnya bagaimana?
Mengumpulkan sampah itu susah karena banyak mafia dan kedua susah metodenya. Makanya saya bikin aplikasi Limbahagia yang bisa diakses smartphone. Di aplikasi ini, pemulungnya dibuat online, masyarakatnya bisa ngumpulin sampah anorganik di rumah, setelah di-submit pemulung kami akan membayarnya atau berupa voucer. Jenis sampah memang berbeda, bagus juga bila masyarakat bisa memilahnya tapi biasanya kita bayar per kilo sekitar Rp1.000 sampai Rp2.000. Tak hanya mendaur ulang sampah plastik, usaha kami juga ada (daur ulang) sampah kertas, knalpot, dan minyak goreng jadi biodiesel.
Dengan pengalaman ini, apa kamu punya konsep untuk persampahan di Indonesia?
Indonesia berpuluh-puluh tahun gagal kampanye kebersihan karena ini hanya tulisan, kurang aksi dan tidak dapat apaapa. Atlet saja enggak semangat karena kurang tepuk tangan. Maka dari itu, kita bikin yang bernilai, tidak hanya kampanye tapi kita mau bayar orang untuk mengumpulin sampah dan memilah, karena saya juga butuh. (M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved