SEPERTI rumah megah yang digerogoti rayap, begitulah kondisi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Taman nasional yang terbentang dari Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Tenggara, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh, hingga sebagian kecil di Sumatra Utara itu terus dirambah untuk perkebunan, pertanian, dan pertambangan. Seperti terlihat Senin (23/3) di Aceh Selatan, jamak pemandangan pohon-pohon menghitam. Hutan sengaja dibakar untuk lahan kebun. Di Aceh Tenggara, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Aceh Gunawan Alza mengungkapkan, berdasarkan pencitraan satelit, kerusakan taman nasional di wilayah itu mencapai 10 ribu hektare lebih. Di Gayo Lues ada sekitar 2.500 hektare hutan yang rusak.
"Penyebab gundulnya hutan TNGL ialah pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan. Bahkan, yang terlibat dalam pembukaan lahan perkebunan di TNGL bukan hanya masyarakat biasa, juga ada oknum pejabat setempat yang memiliki lahan sampai puluhan hektare," tutur Gunawan. Kondisi itu adalah petaka. TNGL yang mencapai luas total 1.095.592 hektare sebenarnya rumah ideal terakhir untuk penyelamatan spesies langka. Ketika degradasi hutan sudah tidak terbendung di banyak bagian Pulau Sumatra, contohnya di Riau, hutan Aceh yang relatif masih lebih hijau diharapkan para pegiat lingkungan bisa jadi rumah baru untuk gajah korban konflik.
Tidak hanya itu, kerusakan TNGL juga berarti ancaman hilangnya keanekaragaman hayati di hutan itu sendiri. Padahal, hutan tersebut menjadi rumah banyak spesies langka, termasuk Amorphophallus titanum (bunga tertinggi di dunia), Rafflesia atjehensis (bunga terbesar di dunia), gajah sumatra (Elephas maximus), badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis), harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae), dan orang utan sumatra (Pongo abelii). Di Aceh Tenggara, Gunawan menjelaskan pemerintah setempat sempat berupaya mengurangi perambahan dengan memberikan bantuan langsung kepada masyarakat. Namun, upaya mengalihkan kegiatan perambahan itu tidak berjalan lama karena keterbatasan anggaran.
Koridor satwa Penyelamatan ekosistem dengan cara berbeda dilakukan pemerintah bekerja sama dengan lembaga donor dari pemerintah Amerika Serikat (USAID) dengan membentuk program Indonesia Forest and Climate Support (IFACS). Menurut anggota IFACS USAID Aceh, Tisna Nando, pihaknya fokus dalam penyelamatan spesies orang utan. Populasi orang utan terus menurun akibat perburuan. Pada 2013, spesies yang hanya terdapat di Pulau Sumatra dan Kalimantan itu diperkirakan mencapai 6.000 individu. Namun, setahun setelahnya diperkirakan hanya berkisar 4.000-5.000 individu. Ancaman kepunahan orang utan sesungguhnya juga ancaman bagi kelangsungan hidup manusia. Pasalnya, golongan primata paling genius itu turut berperan menyebarkan benih tanaman di hutan. Tisna menuturkan perlindungan orang utan dilakukan dengan menyatukan organisasi-organisasi yang bergerak dalam pelestarian orang utan, di antaranya Forum Orang Utan Indonesia (Forina), Yayasan Leuser Internasional (YLI), dan Yayasan Orang Utan Sumatra Lestari.
"Upaya yang mereka lakukan lebih terpadu, mengidentifikasi daerah-daerah baru yang menjadi perhatian, memodifikasi basis data yang ada tentang konservasi orang utan, dan memberikan informasi kepada forum multipihak tentang pelestarian orang utan," ujarnya. Di lapangan, sebanyak 143 ribu bibit pohon lokal ditanam masyarakat di lahan kritis seluas 100 hektare yang terletak di TNGL. Sementara itu, khusus di daerah Trumon, Aceh Selatan, koridor satwa liar di lahan seluas 2.700 hektare dibuat. Koridor itu menghubungkan kawasan TNGL dengan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Koridor satwa memang menjadi komponen penting bagi pelestarian karena memudahkan orang utan berpindah tempat dan mendapatkan makanan.
Tanpa adanya koridor, orang utan bisa terjebak hanya di satu tempat atau jika mereka terpaksa ke luar hutan, dapat kian mudah menjadi target buruan karena dianggap pengganggu oleh masyarakat. Selain itu, koridor tersebut berguna bagi gajah, khususnya jika dibuat berdasarkan trek yang dilaluinya. Spesies yang juga masuk kategori terancam punah itu telah diketahui selalu berjalan di trek yang sama seumur hidupnya. Dengan adanya koridor, kebiasaan hidup gajah yang juga bermanfaat bagi kesuburan hutan tidak akan terganggu. Pentingnya keberadaan koridor gajah juga diutarakan mantan Kepala Desa Naca, Trumon, Azuhri. Menurutnya, hutan yang gunduk membuat gajah kehilangan trek dan sumber makanan.
Akibatnya gajah masuk permukiman dan kebun. "Sekitar 74 ekor gajah liar yang mengamuk melukai dua warga setempat," sebutnya tentang konflik gajah-manusia yang pernah terjadi di sana. Memang pada 2012, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh, Yayasan Leuser Internasional, dan Tim Indonesia Forest and Climate Support (IFACS) bekerja sama mendirikan Conservation Response Unit (CRU). Tim CRU terdiri dari para perawat gajah (mahout) dan empat gajah jinak dan berfungsi untuk membantu meminimalkan konflik gajah dengan manusia. Azuhri mengatakan, sejak kehadiran itu, konflik dengan gajah telah berkurang. Namun, keberadaan koridor tetap diharapkan.
Sementara itu, upaya reboisasi juga dilakukan di Desa Alur Keujereun, Trumon Tengah. Sebanyak 70 kepala keluarga di desa itu telah difasilitasi untuk menanam 40.000 bibit pohon lokal di lahan seluas 250 hektare. Untuk menumbuhkan perekonomian ramah lingkungan, IFACS bersama dengan LSM lokal membentuk komunitas reboisasi dan pendidikan wanatani (agroforestry). Ada pula penggabungan kegiatan wanatani dengan pertanian organik yang dinamakan Care. Kegiatan itu difokuskan pada rehabilitasi dan perlindungan jenis habitat yang mendukung sekitar 2.500 orang utan atau sekitar 37% dari jumlah seluruh populasi orang utan sumatra.