Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PERNAHKAH Anda membayangkan naik kereta api empat hari tiga malam? Itulah yang saya lakukan bersama istri saat melintasi gurun tandus sejauh 4.352 kilometer. Perjalanan membelah Benua Australia itu merupakan salah satu rute kereta api terpanjang di dunia.
“Siapkan buku yang banyak!” Ujar Dino Patti Djalal, mantan Wakil Menteri Luar Negeri, sewaktu mendengar rencana saya ini. Itu nasihat yang sangat bermanfaat ketika ‘petualangan’ menaiki kuda besi dari Sydney ke Perth itu akhirnya terjadi.
Perjalanan naik kereta api Indian Pacific kebanggaan Australia ini melahirkan fantasi yang aneh. Penumpang seakan diajak menembus lorong waktu kembali ke zaman wild wild west, kehidupan para cowboys di era pertambangan emas yang liar.
Great Southern Rail, perusahaan pengelola wisata kereta api Indian Pacific, menawarkan dua rute perjalanan. Pertama, Perjalanan dengan Kereta Api The Gan yang melintasi jalur selatan ke utara, dari Adelaide menuju Darwin. Jaraknya ialah 2.979 kilometer yang ditempuh selama dua hari tiga malam.
Kedua, Perjalanan dengan Kereta Api Indian Pacific, yaitu dari negara bagian New South Wales ke Western Australia, tepatnya dari Indian Ocean di Timur Australia sampai ke Pacific Ocean di Barat. Karena melihat jalur yang ditempuh, tak mengherankan kereta ini dinamakan Indian Pacific. Saya dan istri lebih tergoda untuk menjajal rute yang kedua ini.
Lokomotif 25 gerbong
Lokomotif Indian Pacific yang saya tumpangi dari stasiun kereta di Sydney menarik 25 gerbong berpenumpang sekitar 100 turis dari berbagai negara, mulai kakek, nenek, remaja, hingga anak-anak.
Karena tak ingin kehilangan sensasi terbaik, saya dan istri membeli tiket kelas platinum, tiket termahal yang cukup menguras tabungan kami.
Dengan tiket ini, kami menempati kamar dengan sofa yang bisa diubah jadi tempat tidur. Kamar itu dilengkapi toilet dan kamar mandi sendiri sekelas hotel berbintang. Bersih dan wangi. Juga tersedia lima saluran musik. Rasanya seperti di kamar hotel ketimbang di atas kereta api.
Saya dan istri menjadi bagian dari 16 penumpang kelas platinum. Semuanya pasangan suami istri. Ada yang dari Kanada, Inggris, Australia, dan Jepang. Umumnya mereka pensiunan, kecuali pasangan muda asal Rusia yang tampak sedang dimabuk cinta. Setiap menit mereka ciuman melulu.
Empat hari bersama-sama di atas kereta api, sejak sarapan, makan siang, sampai makan malam, membuat kami merasa seperti satu keluarga besar. Hampir setiap sore kami berkumpul di lounge dan bertukar cerita tentang negara dan budaya masing-masing.
Penumpang kelas gold, silver, dan red berada di gerbong tersendiri. Pembeda antarkelas cuma di fasilitas kamar dan makanan. Di kelas gold dan silver, tempat tidur bersusun, sementara kelas red hanya ada satu tempat tidur. Kamar mandi dan toilet berada di luar dan digunakan bersama.
Sebagai penumpang kelas platinum, kami diperlakukan sangat istimewa. Setiap hari dua waiters yang melayani kami sejak sarapan sampai makan malam. Sore hari mereka dengan ramah melayani penumpang yang ingin minum kopi atau wine sembari ngobrol.
Untuk urusan makanan dan minuman, kami benar-benar dimanjakan. Kapan saja bisa minum wine, kopi, teh, bir atau menikmati aneka kudapan sepuasnya. Tidak ada batasan. Bahkan, pada malam hari, sesudah makan malam, jika kami bosan di kamar, di lounge tetap tersedia kudapan berikut susu, kopi, cokelat, serta aneka minuman di bar yang bisa kami racik sendiri.
Menyesuaikan dengan desing rel
Pada malam pertama, saya dan istri susah tidur. Bukan karena merasa seperti pengantin baru, melainkan suasana asing dan suara roda kereta yang membuat kami begadang sampai tengah malam. Kami lebih banyak menghabiskan waktu membaca buku. Dari balik jendela, hanya kegelapan yang terlihat. Hari pertama kereta sudah mulai melintasi gurun tandus menuju Adelaide.
Paginya, kereta berhenti di Broken Hill, kota bekas pertambangan yang sudah ditutup. Di kota pedalaman New South Wales itu, semua penumpang kereta turun dan ikut tur keliling kota naik bus carteran. Termasuk melihat bekas pertambangan perak dan seng yang pada 1883 menjadi pusat harapan para pengadu nasib dari berbagai penjuru Australia. Di bekas lokasi pertambangan, kami bisa menyaksikan peralatan tambang tua dan sebuah monumen yang mencantumkan nama ratusan pekerja tambang yang tewas karena kecelakaan selama tambang beroperasi.
Broken Hill mengingatkan saya pada kota tua di film-film cowboy. Hampir semua bangunan di pusat kota bergaya old western. Imajinasi saya seketika kembali ke akhir abad ke-18 ketika para penambang memenuhi kota ini. Terbayang kehidupan liar seperti di film-film dokumenter yang pernah saya tonton. Setelah era penambangan berakhir, kota itu menjadi kota mati. Hanya sejumlah penduduk yang masih bertahan sampai sekarang.
Dari Broken Hill, kereta melaju menuju Adelaide. Ada perbedaan waktu setengah jam antara negara bagian New South Wales dan South Australia, sedangkan untuk Sydney dan Perth, perbedaan waktu 4 jam. Karena kami berangkat dari barat ke timur, di setiap negara bagian, kami harus memutar mundur jarum jam di tangan.
Perbedaan waktu ini menjadi lelucon di antara penumpang. ”Siapa bilang waktu tidak bisa diputar mundur?” Ujar seorang penumpang. “Perjalanan ini membuat kita jadi lebih muda 4 jam,” komentar yang lain.
Tur di sela perjalanan
Di Adelaide penumpang boleh memilih ikut tur ke kebun anggur atau keliling kota. Semua sudah termasuk dalam tiket yang kami bayar. Saya dan istri memilih tur keliling kota terbesar kelima di Australia ini.
Nama Adelaide--yang diambil dari nama Ratu Adelaide, istri Raja William IV--tidak asing bagi saya. Pada 2005 saat memimpin Harian Media Indonesia, kami menjalin kerja sama dengan The Adelaide, sebuah koran lokal di kota ini.
Kami mengirim reporter Media Indonesia untuk magang di The Adelaide dan sebaliknya The Adelaide mengirim reporternya ke Jakarta. Namun, baru pertama kali inilah saya menginjakkan kaki di kota berpenduduk 1,7 juta jiwa ini.
Dari kota yang berdiri sejak 1836 ini, kami melanjutkan perjalanan menyusuri rel kereta yang seakan tak berujung. Malam itu gerbong lounge masih tetap ramai. Semua pasangan sengaja tidak kembali ke kamar karena kami sepakat merayakan malam pergantian tahun bersama-sama.
Tepat pukul 24.00, kami--16 makhluk Tuhan yang ‘terperangkap’ di atas kereta api--bernyanyi dan menari sembari membunyikan converty sebagai penanda 2015 sudah berganti 2016. Pesta tahun baru itu berakhir dengan beberapa pasangan berdansa setengah mabuk!
Kembali ke masa lalu
Sepanjang perjalanan, hanya gurun tandus bertanah merah yang tampak. Tidak terlihat kehidupan manusia di sepanjang nullarbor plain. Sesekali kambing liar dan kanguru serta unta tampak berlari berkelompok di antara perdu. Sejauh mata memandang, hanya bebatuan dan tanah gersang yang tampak.
Dari balik jendela kereta, lamunan saya kembali ke 1969 ketika rel kereta dari timur ke barat ini untuk pertama kali berhasil tersambung. Tidak terbayangkan waktu itu bagaimana para pekerja yang membangun jalur kereta api ini harus bekerja pada suhu yang mencapai 40 derajat celsius pada siang hari dan turun drastis sampai 5 derajat celsius di malam hari.
“Kalau tiba-tiba kita dipaksa turun di tengah gurun ini, apa yang bakal kita lakukan untuk bisa selamat?” Tanyaku iseng kepada istri setelah 7 jam kami hanya melihat gurun semata.
Pertanyaan itu akan melahirkan ketakutan jika hal itu benar-benar terjadi. Mampukah manusia bertahan tanpa makan dan minum di tengah gurun seluas ini? Mampukah manusia berhari-hari menghadapi perubahan iklim yang ekstrem dari siang ke malam?
Risiko kematian semacam itulah yang dihadapi para pekerja pada 1969 dalam upaya menyambung rel sejauh 4.352 kilometer --membelah tiga negara bagian Australia--antara Perth dan Sydney. Apalagi, jika membayangkan puluhan tahun sebelumnya, pada awal abad kedelapan belas, ketika para penambang baru mulai merintis jalur kereta api ini.
Kota mati
HARI ketiga, pukul 14.00, kereta berhenti di Cook, sebuah stasiun kecil di tengah hamparan gurun. Tempat ini dulu sebuah kota yang terbentuk pada 1917 saat rel kereta api sedang dikerjakan. Namun, sejak 1997, kota yang namanya diambil dari nama Perdana Menteri Australia keenam ini menjadi kota mati. Tinggal stasiun kecil itu yang tersisa sebagai bukti pernah ada kota di sini.
Pada saat turun dari kereta, suhu udara yang mencapai 40 derajat celsius segera menyengat permukaan kulit. Badan serasa dipanggang. Di dekat stasiun terdapat monumen yang menceritakan sejumlah anak sekolah yang pernah menanam 600 pohon di sini. Sebagian dari pohon itu masih berdiri sampai sekarang. Kereta hanya berhenti 1 jam di Cook.
Selain jalur kereta api Sydney-Perth yang luar biasa panjangnya, saat melintasi negara bagian South Australia-Wetern Australia, rel kereta mencatat rekor ‘rel kereta api dengan jalur lurus’ terpanjang di dunia, yakni 478 kilometer. Silakan bayangkan jalur rel kereta tanpa belokan atau lengkungan sejauh itu!
Malam hari, menjelang memasuki Perth, kereta berhenti di Rawlinna, stasiun kecil di hamparan gurun yang sepi. Di sepanjang rel sudah tersedia meja dan bangku yang memanjang. Seluruh penumpang turun di sini untuk makan malam.
Sungguh pengalaman yang unik. Beratapkan langit, di tengah udara gurun yang dingin, ditingkahi suara serangga, kami menyantap sapi panggang, kentang rebus, dan daging domba. Wine berbagai jenis memenuhi seluruh meja.
Walau hanya diterangi lampu badai yang menggunakan energi baterai dengan cahaya temaram, suasana terasa riang gembira. Bagi yang tidak tahan udara dingin, bisa mendekat ke api unggun yang dinyalakan di beberapa titik untuk menghangatkan tubuh sekaligus mengusir serangga.
Pada hari keempat kereta akhirnya memasuki Perth. Kota yang dijuluki ‘Swan City’ ini menyambut kami dengan suhu cukup dingin walau di tengah musim panas. Keceriaan kota yang dibangun pada 1829 ini seakan mewakili keceriaan saya dan istri yang baru saja menikmati ‘petualangan’ naik kereta api dengan jarak hampir empat kali jarak Jakarta-Surabaya.
Sayup-sayup, dari loudspeaker di kamar, terdengar suara Slim Dusty, penyanyi country legendaris Australia, melantunkan lagu ciptaannya, Indian Pacific, yang menceritakan pengalamannya naik kereta kebanggaan orang Australia ini.
...From coast to coast, by night and day
Hear the clickin’ of the wheels
The hummin of the diesel on her ribbons of steel
Carryin’ the memories of a nation built by hand
See the Indian Pacific span the land...(M-1)
miweekend@mediaindonesia.com
Kereta Indian Pacific
Rata-rata panjang kereta: 774 m (dua lokomotif dan 30 gerbong)
Rata-rata berat kereta: 1.400 ton
Panjang trek: 4.352 km
Lamanya perjalanan: 65 jam (Dari Sydney ke Perth)
Rata-rata kecepatan kereta: 85 km/jam (kecepatan maksimal 115 km/jam
Simbol: Elang ekor baji, burung pemangsa Australia terbesar. Besar dan lebar sayap mencapai 2 meter dan melambangkan perjalanan epik yang mencakup benua.
Rata-rata jumlah gerbong: 30 gerbong, termasuk gerbong tamu, tempat awak, restoran, lounge, dan van listrik.
Rute: Tiga malam dan empat hari melalui Broken Hill, Adelaide, dan Cook and Kalgoorlie. Bertualang menggunakan kereta ini tentu membuat Anda tahu betapa besarnya Southern Land.
Jumlah hari/malam: 4 hari dan 3 malam
Keberangkatan: Berangkat setiap tahun
Kunjungan kereta dan berhenti singkat: Broken Hill, Adelaide, Barossa Valley, Kalgoorlie, Rawlinna, dan Cook.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved