Sawahlunto Cerita Kota Tambang

Thalatie K Yani
25/2/2016 00:50
Sawahlunto Cerita Kota Tambang
(MI/THALATIE K YANI)

SATU per satu nampan bundar besar berisi berbagai lauk pauk diturunkan dari mobil. Para ibu yang mengenakan baju kurung dan kain songket menerimanya dan meletakkannya di atas kepala.

Mereka pun langsung bergabung dengan rombongan mereka sesuai dengan Kerapatan Adat Negeri (KAN), lembaga adat Minangkabau setingkat desa, tempat para ibu itu berasal.

Sebagian perempuan yang tidak membawa barang di atas kepala mengenakan tingkuluak (tengkuluk), hiasan kepala perempuan yang berbentuk runcing dan bercabang. Tutup kepala menyerupai bentuk tanduk kerbau itu sarat makna dan bisa jadi pembeda perempuan lajang dan yang telah berkeluarga.

Para ibu itu menjadi pemeran utama dalam acara Makan Majamba. Perhelatan makan bersama memperingati hari jadi Kota Sawahlunto ke-127 itu digelar di halaman Gedung Pusat Kebudayaan, pusat Kota Sawahlunto, Sumatra Barat.

 

Sekitar 12 ribu orang dari 37 desa dan 110 dusun hadir. Acara makan bersama itu bukan semata memperingati hari jadi kota, melainkan juga bagian dari pelestarian tradisi.

“Saat Makan Majamba, semua rencana yang kita buat untuk kota kita bicarakan dengan cara duduk bersama sehingga bisa diselesaikan sesuai pemufakatan,” ujar Wali Kota Sawahlunto Yusuf Ali.

Bukan cuma Makan Bajamba yang tetap dipertahankan di Sawahlunto, banyak bangunan tua dan tambang yang masih dilestarikan, bahkan direstorasi ulang. Kerja keras itu kini beroleh julukan kota wisata tambang.

 

Lubang Mbah Soero
Salah satu ikon kebanggaan Sawahlunto ialah Lubang Mbah Soero. Lubang Mbah Soero berwujud lubang tambang yang dibuka 1898. Sekitar 30 tahun beroperasi, tambang batu bara PT Ombilin itu dihentikan karena masalah teknis.

Pada 2007, tambang itu dibuka kembali sebagai tujuan wisata. Para pelancong bisa memasuki lorong dengan panjang 186 meter dan berkontur cukup curam itu.

Pengunjung sebaiknya berpegangan pada tiang penyangga pasalnya lantai batu cukup licin akibat air yang menitik dari langit-langit lorong. Di dalam lorong, ada sejumlah lampu terang menerangi jalur. Dinding lorong pun masih terbuat dari batu bara.

Di kedalaman 30 meter, Anda bisa melihat sejumlah lorong lain. Namun, lorong itu belum bisa dilalui. Perjalanan menyusuri lorong itu hanya 3 menit. Jangan takut kehabisan udara di dalam lorong karena tersedia blower yang meniupkan udara segar.

Hati-hati saat naik kembali ke atas permukaan karena cahaya matahari akan membuat silau. Butuh penyesuaian beberapa saat setelah naik.

Nama Mbah Soero pun diambil dari nama sang mandor tambang, Soero. Sosok Soero dikenal sebagai pekerja keras, tegas, dan taat beragama. Ia sangat disegani para buruh dan orang sekitarnya.

 

Manusia Rantai
Di balik lorong Mbah Soero terpetik cerita sedih, yaitu para manusia rantai, tawanan yang kebanyakan berasal dari Jawa dan dibawa ke Sawahlunto untuk dipekerjakan sebagai penambang.

Dalam keseharian, mereka harus terikat dengan rantai yang membelenggu sepanjang hari, kecuali saat mereka bekerja, hanya rantai di kaki yang terpasang.

Selama menjadi manusia rantai, mereka tidak memiliki nama. Semua dipanggil berdasarkan nomor yang diberikan di rantai mereka. Nomor itu pun ditato di badan mereka. Saat mereka wafat, tidak ada nama yang tertulis di nisan, hanya nomor rantai.

Mereka yang selamat dari masa penyiksaan berhasil membaur dengan masyarakat sekitar dan bergenerasi menjadi warga Sawahlunto.

Untuk mengetahui kisah manusia rantai dan menjelajahi Lorong Mbah Soero, pengunjung harus membayar Rp8.000.

 

Goedang Ransoem
Tidak jauh dari Lorong Mbah Soero, terdapat Museum Goedang Ransoem. Bangunan yang dibangun 1918 itu awalnya merupakan dapur umum Perusahaan Tambang Batu Bara Ombilin.

Meski memiliki enam bangunan yang berbeda, penggerak utama kawasan ini ialah bangunan power stroom. Tungku pembakaran ini buatan Jerman pada 1894 produksi Rohrendampfkesselfabrik, DR Patente bernomor 13449 dan 42321. Bangunan ini mengalirkan uap panas melalui pipa. Uap panas dari pembakaran tungku baru bara itu masih tampak seperti dahulu kala. Selain itu, bangunan ini tampak menarik karena memiliki cerobong asap setinggi 25 meter. Di dapur umum ini, berbagai peralatan dapur berukuran besar tertata rapi.

Sekitar 100 meter dari sana, pelancong bisa bertandang ke Museum Tambang Ombilin. Di museum terpajang aneka peralatan seperti lampu, helm dan tentunya batu bara bermutu tinggi yang digali dari perut Sawahlunto.

 

Mak Itam
Tentunya ke Sawahlunto tak akan lengkap tanpa Museum Kereta Api! Museum yang merupakan stasiun kereta api yang dibangun kolonial Belanda 1918 itu menampilkan berbagai peralatan dan sejarah perkeretaapian di Sawahlunto. Berbagai replika kereta api, jam besar stasiun, juga dipajang di sini.

Yang menarik dari museum ini tidak lain ialah kereta uap warna hitam bernama Mak Itam. Sayangnya, kereta berbahan batu bara itu sudah tiga tahun terakhir tidak beroperasi karena rusak dan ditempatkan dalam diponya.

 

Puncak Cemara
Ke Sawahlunto tidak lupa mampir ke Puncak Cemara. Puncak tertinggi di Sawahlunto itu menawarkan pemandangan kota yang mirip dengan kuali itu. Ya, kota yang terletak di lembah ini diapit perbukitan sehingga mirip kuali.

Tidak hanya itu, di setiap sisi, Kota Sawahlunto menawarkan berbagai bangunan tua yang masih terawat, seperti Gereja Santa Barbara di persimpangan Jalan Yos Sudarsono nomor 45 dan Rumah Pek Sin Kek yang dikenal sebagai penyedia kebutuhan makanan bagi bangsa Eropa yang tinggal di sana.

Dengan berbagai ikhtiar perawatan bangunan tua, Sawahlunto pun percaya diri mengajukan diri sebagai kota warisan dunia! (M-1)

thalatie@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya