Lurik yang Tetap Dilirik

MI
21/2/2016 15:30
Lurik yang Tetap Dilirik
(MI/Liliek D)

TOKLEK... toklek... toklek... suara kayu yang beradu itu berbunyi secara runut berpadu dengan nyanyian Jawa banyumasan yang keluar dari radio. Dua lelaki larut dalam pekerjaan menenun. Aktivitas itu terlihat dari salah satu rumah yang cukup besar di kota lama Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), tepatnya di Mruyung.

Slamet Hadi Prijanto-lah yang memulai usaha tenun lurik pada sekitar 2012 silam. Sebetulnya, Slamet telah memiliki usaha batik yang dikenal dengan batik Mruyung, dengan motif khas banyumasan. Ia adalah generasi ketiga yang meneruskan usaha batik leluhurnya sejak ratusan tahun silam.

Meski telah sukses menekuni usaha batik, Slamet tetap mencoba sesuatu yang baru yakni usaha lurik. Sejauh ini, lurik hanya diproduksi oleh para perajin di Yogya dan Solo, sedangkan di Banyumas tidak ada sejarahnya. "Pada awalnya saya juga tidak terlintas mau membuka usaha pembuatan lurik di Banyumas. Namun, waktu itu ada alat penenun yakni alat tenun bukan mesin (ATBM) bekas milik Banyumas Sutera Alam yang menganggur. Karena itu, akhirnya saya beli. Padahal waktu membeli, saya sama sekali belum tahu mengoperasikannya dan cara membuat tenun lurik," jelasnya, Kamis (11/2) lalu.

Begitu mendapatkan alat tersebut, lanjut Slamet, ia belajar dan merekrut empat pekerja yang khusus akan mengoperasikan ATBM. "Meski awalnya kesulitan, ternyata sampai sekarang bisa berjalan. Ada empat orang yang mengerjakan proses penenunan, mulai memintal benang sampai menenun hingga menjadi kain lurik," katanya.

Menurutnya, ada perbedaan lurik yang diproduksi Yoga dan Solo dengan produk Banyumas yakni banyaknya varian. "Jadi, lurik yang dikembangkan di sini dipadu dengan batik khas Banyumasan sehingga produk kainnya berbeda dan memiliki kekhasan," ungkapnya.

Ia mengungkapkan bahwa produk lurik yang dihasilkan dari tempat usahanya sebetulnya memanfaatkan benang-benang sisa. Dengan begitu, untuk membuat satu lembar saja butuh waktu sekitar tiga pekan. Setiap lembar kain lurik dengan panjang 2,5 meter, kata Slamet, harganya dipatok Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. "Memang usaha lurik ini hanya sebagai pelengkap dari usaha utama kami yang berupa batik," kata Slamet.

Setiap bulannya, ada saja kain lurik yang terjual ke konsumen. Kisarannya ada puluhan potong kain yang terjual setiap bulan.

Ke depannya, lanjut Slamet, dia akan terus mengembangkan usaha lurik dengan ATBM yang dimilikinya. "Saya masih punya angan-angan untuk mengembangkan tenun ikat. Jadi nantinya tidak hanya mandek pada pembuatan tenun lurik," tukasnya.(LD/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya