Candu Bernama Kuis

21/2/2016 12:13
Candu Bernama Kuis
(Siti menjadi salah satu pemenang undian berhadiah liburan ke Hong Kong--Dok.Pribadi)

BERBURU kuis menjadi bagian dari fenomena budaya kompetisi, apalagi jika didorong insentif berupa materi uang dan jalan-jalan ke luar negeri.

"Berdasarkan studi, memenangi sebuah kompetisi dapat menimbulkan kecanduan. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa rasa sakit karena kekalahan itu jauh lebih lama jika dibandingkan dengan rasa senang karena kemenangan," ujar pengamat sosial budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, kepada Media Indonesia di Jakarta, kemarin.

Di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang membuat psikologis seseorang lebih rentan menjadi stres, doping kesenangan melalui kemenangan dari kuis dapat menjadi salah satu cara menghilangkannya.

Hadirnya media sosial (medsos), yang salah satunya didesain untuk mendorong orang berlomba-lomba tampil dan menarik perhatian orang lain, membuat fenomena berburu kuis menjadi lebih intensif.

Para penyelenggara kuis, yang bermaksud membuat promosi produk menjadi semakin luas, memanfaatkan karakter pengguna medsos untuk mendapatkan pujian sesaat dan menjadikan hadiah kuis sebagai bonus dari kegandrungan masyarakat untuk memenangi kuis. "Studi di Oxford mengatakan pengguna media sosial memiliki ciri selalu berburu kepuasan. Kuis mampu memfasilitasi kebutuhan psikologis itu," ungkapnya.

Pemasaran
Undian dan kuis menjadi taktik pemasaran suatu produk agar laku terjual karena kuter akan membeli produk itu dalam jumlah banyak.

Sosiolog Musni Umar menilai taktik itu sah-sah saja. Namun, yang perlu diimbau ialah masyarakat Indonesia supaya bisa mengatur kondisi keuangan masing-masing.

"Kadang yang sering terjadi di masyarakat kita itu kan lebih memaksakan diri untuk membeli produk-produk yang menjanjikan hadiah, padahal uang yang dibelanjakan itu bukanlah untuk membeli undian atau, bahkan mengutang dengan orang lain," ucar Musni.

Menurut Musni, peluang kecil untuk mendapatkan hadiah dalam sebuah undian itu harus diimbangi dengan tingkat kemampuan ekonomi tiap-tiap individu. Ia menyarankan masyarakat agar sebaiknya lebih bijak dalam mengikuti undian dengan cara membeli produk itu.

"Jadi, pikiran harus diubah menjadi kalau dapat hadiah ya bonus, jangan hadiah yang dijadikan patokan sehingga membeli produk tidak sesuai dengan keperluan," paparnya.

Fenomena kuter di Indonesia menurut Musni semakin bertambah karena desakan masyarakat kelas bawah yang ingin mendapatkan sesuatu dengan cara yang cepat dan praktis. Padahal, persentase dan perbandingan atas apa yang sudah dikeluarkan dan akan didapat sangatlah kecil.

"Jadi, balik lagi ke individu masing-masing. Kalau bisa mengatur jumlah pembelian produk dari tingkat ekonomi masing-masing, itu tidak masalah. Yang berbahaya itu kalau sudah tidak ada uang dan berutang untuk mengikuti banyak undian," pungkasnya. (Rio/M-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya