Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
ADA alasan tepat untuk tidak mengganti kata roso menjadi rasa. Sebab, dua kata itu mempunyai makna berbeda. Dengan tajuk 70 Tahun Rentang Kembara Roso, sang maestro seni rupa, Srihadi Soedarsono, kali ini berpamer di Galeri Nasional Indonesia pada 11-24 Februari 2016.
Pameran kali ini menampilkan sedikitnya 450 karya milik Srihadi. Karya itu berupa gambar cat air, sketsa, drawing di atas kertas, dan tujuh lukisan di atas kanvas.
Rentang Kembara Roso sebenarnya merujuk pada perjalanan spiritual yang dialami Srihadi. Pengalaman spiritual itu menjadi penting untuk memahami sang maestro. Sebab, dari situlah Srihadi memulai karyanya.
Merapal kata kembara yang bermakna perjalanan, pejelajahan, maupun proses penemuan, tajuk itu ditulis dengan menggunakan bahasa jawa roso yang berlain makna dengan kata rasa dalam bahasa Indonesia. Sementara itu, angka 70 ialah bilangan untuk menyebut banyaknya tahun yang dilewati Srihadi dalam proses kreatifnya. Ia lahir pada 1931 dan mulai aktif menggambar sejak 1946.
Diungkap istri Srihadi, Farida Srihadi, rasa berbeda dengan roso. Rasa ialah feeling, bisa saja manis, panas, dingin, suka atau tidak suka, sedangkan roso ialah pengalaman batin spiritual manusia yang secara sublimatif terangkat menjadi sesuatu yang bersifat meditatif dan spiritualistis.
"Roso itu mendampingi semua karya-karya yang diekspresikan secara naluri keluar dari kalbu. Jadi, itu keluar dengan spontan, tidak ada inner feeling yang diikuti. Tidak ada satu pun yang memaksa, tapi mengikuti apa yang keluar dari kalbu, hati nurani," terang Srihadi. Srihadi memberikan contoh bahwa sampai kini ia tetap melukis Candi Borobudur. Namun, kata dia, melukis Borobudur sekarang pasti berbeda dengan dahulu. Sebab spiritualitas pelukis juga berbeda pada tiap-tiap momentum. "Jadi, roso itu berbeda dengan rasa. Roso itu tingkat sublimasi yang sangat tinggi," tegas Farida.
Periode karya
Pameran ini sebenarnya hendak membingkai arsip karya Srihadi dari rentang era revolusi (1946) hingga reformasi (2016). Pameran tunggal ini juga dimaksudkan sebagai retrospektif ketika penikmat seni bisa menikmati dan mengamati perkembangan karya Srihadi.
Kurator pameran Rikrik Kusmara sengaja membagi karya Srihadi berdasarkan kurun. Terdapat beberapa periode jelajah pemikiran dan kekaryaan Srihadi yang ditampilkan, antara lain; periode awal (1945-1952) ketika Srihadi terus mengembangkan kemampuan menggambarnya secara otodidak. Pada kurun itu, Srihadi sempat tergabung dalam Tentara Pelajar Detasemen II Brigade 11, kemudian bergabung dengan komunitas perhimpunan kesenian.
Pada periode perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, Yogyakarta, pada 1948, Srihadi ditugasi sebagai wartawan pelukis untuk mendokumentasikan berjalannya perundingan. Seusai menggambar, atas alasan autensitas dan kesadaran sejarah, Srihadi meminta para delegasi untuk menandatangani karyanya. Jadi, karya Srihadi ialah dokumentasi penting dalam sejarah perjuangan Republik Indonesia.
Pada 1954, Srihadi mengunjungi Bali atas undangan Jimmy Pandy, seorang pengelola galeri seni di Sanur. Selama beberapa hari ia terus merenung berpindah-pindah dari lokasi pantai Sanur. Ia mengamati dan berkontemplasi tentang esensi atau hakikat yang menghidupkan dan menggetarkan tiap objek yang ada di sekitarnya.
Saat inilah kemudian ia kemudian memahami arah karya-karyanya. Dari hasil eksplorasinya terhadap objek nyata, ia menyimpulkan tiap goresan atau garis pada hakikatnya merupakan getar kehidupan. Sementara itu, periode Amerika Serikat Ohio State University (1960-1962) mengacu saat Srihadi menjalani masa studi master di Ohio. Pada periode ini Srihadi semakin menguatkan pendekatan artistik dalam proses drawing dan pemanfaatan media cat air. Saat itu ia juga merasa memiliki visi artistik yang lebih kuat, cermat, dan kritis tentang warna. Lebih jauh, ia menjelaskan jika pendekatan pada masa autodidak lebih intuitif, kemudian pada masa belajar di Bandung lebih analitik, masa studi di Amerika lebih melengkapi aspek-aspek logis.
"Saya merasa seperti menggunakan 'logika roso' dalam berkarya dengan metode di Amerika," terang Srihadi dalam catatan Rikrik.
Pada periode Mengamati Perjalanan Peradaban Dunia (1970-2006), karya Srihadi merupakan rekaman tentang 'dunia Barat' dengan pendekatan cat air. Karya-karya pada periode ini banyak menampilkan tema lanskap dan cityscape dalam prinsip horizon. Namun, itu berbeda dengan karyanya saat di Bali (1954) yang secara estetik memperlihatkan pencarian unsur reduksi dan kesederhanaan. Periode itu lebih menampilkan dualitas harmoni, kompleksitas sekaligus kesederhanaan (simplicity).
Menurut Rikrik, hal ini menunjukkan sisi tegangan pada kondisi antara kesempurnaan dan ketaksempurnaan. Srihadi dengan cermat masih menorehkan kesan peradaban yang kompleks dengan garis-garis yang detail pada bentuk arsitektur bangunan kota di Eropa sekaligus kesederhanaan yang ditunjukkan dengan kepekaan dalam menempatkan warna cat air. Selain periodesasi itu, masih terdapat beberapa periodesasi lain, seperti Karya Program Singapore Tyler Prints Institute (STPI) 2005 saat Srihadi diundang bersama istrinya untuk menjadi seniman tamu. Di sana mereka berdua mengeksplorasi karakter bubur kertas dan pigmen. Mereka lalu mengomposisikannya dalam bidang berskala besar. Lalu diimplementasikan pada karya bertema Borobudur.
Di samping periodesasi kekaryaan Srihadi, karya yang dipamerkan hampir semua dalam medium kertas. Sedikit di antaranya yang bermedium kanvas besar. Rupanya Srihadi dan Farida Srihadi ingin berpesan sederhana. "Kertas pun bisa bernilai karya seni," tegas Srihadi.(M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved