Bukan sekadar Mengisi Perut

Abdillah Marzuqi
14/2/2016 03:41
Bukan sekadar Mengisi Perut
(MI/IMMANUEL ANTONIUS)

Kuliner menjadi salah satu paket wisata yang bisa dijual untuk mendatangkan wisatawan, sekaligus mengenalkan budaya Indonesia.

"SAMA seperti Solo, Yogyakarta juga punya kultur keplak ilet, masyarakatnya terbiasa makan di luar. Ini terkait dengan kebiasaan para bangsawan di dua kota ini yang memang memasukkan tradisi mengolah makanan di dapur sebagai bagian dari kekayaan kultur," terang Arie Pakiset kepada sejumlah peserta tur, di Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Karena itu, istilah keplak ilet populer di sini, artinya lidah yang senang jajan.

Kala itu, Arie dan rombongan, termasuk Media Indonesia, hendak menyicipi Sate Klatak Mak Adi di Jalan Imogiri, yang terkenal sedap. Sebagai pendiri event organizer kuliner Kelana Rasa Culinary Solution (KRCS), Arie memang terbiasa membawa rombongan untuk menyicipi masakan Nusantara. Pesertanya tak jarang turis asing. Selain makan, dia menjelaskan asal usul penganan tersebut serta cerita-cerita lain seputar kota yang dikunjungi. Paket ditawarkan beragam, tergantung kota yang dikunjungi dan lamanya tur. Ongkos biasanya sudah termasuk tiket pesawat PP, makan, transportasi selama tur, serta tiket masuk objek wisata.

Hal sama juga dilakoni Candha Adwitiyo. Namun, berbeda dengan Arie, pria berusia 32 tahun yang bekerja sebagai guide untuk Jakarta Walking Tour itu hanya menemani kliennya mencicipi makanan pinggir jalan di seputaran Ibu Kota. Seperti Arie, dia juga bertugas menjelaskan soal asal usul, cara membuat, hingga bahan-bahan untuk meracik makanan yang disantap. Tentu berikut bumbu-bumbu cerita lainnya.

Awalnya, Candha bekerja sebagai jasa pemandu Jakarta Good Guide yag berada di bawah naungan Jakarta Walking Tour pada September 2014. Ia mengaku niat awalnya ialah mengenalkan Jakarta kepada turis asing.

Menurutnya, para pelancong itu hanya memanfaatkan kota tersebut sebagai titik transit untuk menuju lokasi wisata lain. Apalagi ada stereotip buruk tentang Jakarta; macet, polusi, hingga tingginya kriminalitas.

"Tadinya emang niat kita gimana caranya Jakarta ramah sama turis karena kita sering melihat turis yang lontang-lantung di Monas. Jalan kaki sendirian. Kasihan mereka cuma melakukan hal itu doang. Ngapain lu ke Jakarta? Jakarta itu enggak ada apa-apaan," ujar Candha, Jumat (12/2) lalu.

Semula, Candha hanya punya rute City Centre dari Monumen Nasional (Monas) sampai ke Gereja Immanuel. Waktunya pun terbatas hanya akhir pekan, Sabtu-Minggu. Empat bulan kemudian, ia buka lagi rute baru China Town, yaitu Glodok, Kota Tua, dan Menteng. Belum cukup, ia buka tambahan rute untuk Pasar Baru dan Cikini. Tur biasa dilakukan siang hari dengan durasi sekitar 3 jam. "Kalau yang Jakarta Walking Tour, kita biasa mulai pukul 09.00-12.00," lanjutnya.

Konsep street tour itu sangat sederhana, peserta diajak jalan-jalan menyusuri jalanan Ibu Kota sembari memperoleh penjelasan tentang berbagai tempat di sekitaran rute yang dilalui.

Sekitar dua tahun lalu, mulai ada beberapa peserta dari Filipina dan Amerika Serikat yang minta Culinary Tour. Mereka ingin menikmati makanan yang ada di jalanan seputar Ibu Kota. Mulailah Candha meriset beberapa lokasi. Dia lalu memutuskan untuk menjadikan Jalan Sabang sebagai titik Street Food Walking. Pertimbangannya sederhana karena aksesnya mudah untuk para turis. Selain itu, sepanjang jalan itu punya banyak ragam makanan lokal. "Sabang punya akses mudah, makanannya banyak, full Indonesian food. Akhirnya kita coba bawa mereka ke sana," ucapnya.

Bayar seikhlasnya

Berbeda dengan Jakarta Walking Tour yang dilakukan siang hari, Street Food Walking Tour malah harus dilakukan pada petang hingga malam hari, mulai pukul 18.00 WIB sampai sekitar pukul 21.00 WIB. Selain udara mulai ramah, para pedagang di Jalan Sabang baru buka sekitaran jam tersebut.

"Semua ketemu di sana, enggak ada jemput-jemputan. Bule-bule juga datang. Kita ketemu di Sarinah nanti finisnya di Monas," tegasnya.

Sama seperti konsep yang dipakai dalam Jakarta Walking Tour, Street Food Walking Tour memakai metode pembiayaan pay as you wish yang berarti kurang lebih bayar seikhlasnya.

Cara itu, menurut Candha, lebih ramah bagi turis yang menjadi pangsa pasarnya, yakni para backpacker. Turis kategori itu dikenal punya budget terbatas. Mereka sering kali berat untuk bergabung dengan paket tur biasa yang mencapai jutaan rupiah. Street Food Walking Tour menawarkan 7 hingga 9 menu, mulai makanan berat, makanan ringan, sampai jajanan. "Mereka senang banget. Akhirnya kita pikir bisa nih kita jadikan ini sebagai salah satu program kita," terang Candha.

Hal itu pula yang mendasari kegiatan komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI). Juni mendatang, ACMI berencana mengajak warga Indonesia yang tinggal di luar negeri berwisara kuliner di Yogyakarta dan Bali. "Banyak orang Indonesia di luar negeri merasa lebih ingin tahu perkembangan tempat-tempat kuliner baru dan yang masih bertahan," ujar pendiri ACMI Santhi Serad.

Kata Shanti, masyarakat Indonesia kini makin menghargai sesuatu yang dimakan. Mereka mulai ingin tahu banyak tentang cerita di balik hidangan yang tersaji. Banyak di antara pencinta kuliner yang mulai melirik jasa penyedia layanan tur semacam itu. Tur kuliner bukan hanya tentang makanan, melainkan juga tentang belajar dan mengenal nilai budaya dalam setiap penganan. "Jadi harapannya dengan adanya wisata kuliner, peserta lebih banyak dapat ilmu selain mengisi perut. "Namun, kata Santhi, paket wisata kuliner harus dikemas menarik. Tidak sekadar datang ke suatu tempat untuk makan, lalu foto-foto, terus pulang. Paket wisata kuliner, kata dia, harus menawarkan hal baru bagi peserta sekaligus sensasi, misalnya dengan mengikutsertakan unsur budaya atau memasukkan pengetahuan sejarah dari asal makanan tersebut.

"Semisal jika berwisata ke tempat pembuatan gula kelapa, harus masuk ke perkebunan kelapa untuk melihat proses dari awal," ujarnya. (zat/rin/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya