Mengecap Timlo, Mengenal Budaya Kota Solo

Zat/M-4
14/2/2016 03:25
Mengecap Timlo, Mengenal Budaya Kota Solo
(MI/Susanto)

BANGUNAN pasar bergaya art deco itu tampak memikat dengan atap menyerupai cendawan. Bangunannya masih terpelihara baik. Sirkulasi udaranya yang bagus karena atapnya terbilang tinggi membuat panas dan aneka aroma dari berbagai bahan baku yang diperdagangkan tak mengganggu. Itulah kondisi bangunan Pasar Gede di Kota Solo, pasar tradisional terbesar di kota itu.

Thomas Karsten, sang arsitek kelahiran Belanda, dikabarkan merancang bangunan serupa untuk Pasar Johar Semarang dan Pasar Palembang, Sumatra Selatan. Penjelasan itu disampaikan Arie Parikesit, pendiri Kelana Rasa, saat membawa rombongan menyambangi kota itu beberapa waktu lalu.

Media Indonesia yang ikut dalam rombongan itu menyusuri timbunan kekayaan kearifan lokal dalam mengolah rasa yang ada di pasar tersebut. Ada Lenjongan Yuk Sum di tengah-tengah selasar yang menawarkan klepon, cenil, dan jadah blondo yang berbahan ketan dengan bumbu kacang kedelai. Yang paling istimewa ialah brambang asem. Wujudnya memang tak terlampau cantik, yaitu daun ubi rebus yang dibumbui gula merah, asam jawa, dan rawit. Sepintas, itu mengingatkan kita pada rujak kangkung, tradisi kuliner Betawi dan Sunda.

Menjelang pintu belakang pasar, ada jajaran pedagang pecel, termasuk yang membuatnya dari kacang wijen sehingga berwarna hitam. Terselip juga pembuat intip, yang menggoreng langsung dengan wajan raksasa.

Wajan-wajan serupa juga tengah dipakai menggoreng ceker, usus ayam, dan keripik paru. Karsten berhasil menyerap nilai-nilai lokal masyarakat Indonesia yang guyub sehingga pasar tradisional yang memanusiakan pembeli dan pedagang dibutuhkan.

Desain pasar itu menjadikan mahakarya kuliner yang sepintas sederhana, tetapi kaya cerita tentang kekayaan pangan lokal, terwujud dengan baik. Ubi jalar ialah salah satu jenis tumbuhan yang sengaja ditanam agar sawah beristirahat pascatanam padi, sedangkan wijen ialah salah satu bumbu lokal kebanggaan Indonesia yang produksi paling besarnya di Nusantara dipasok dari Jawa Tengah.

Saat keluar dari Pasar Gede, dengan cukup dengan berjalan kaki, ada kedai Timlo Sastro yang telah berdiri sejak 1953. Bukan cuma favorit para pelancong, kedai dengan dekorasi puluhan kalender yang ditempel di dinding itu juga menjadi favorit penduduk lokal. Mereka bersantap siang bersama keluarga di sini sambil menikmati sajian orkes keroncong. Menunya berwujud kuah bening dengan potongan jeroan ayam, telur ayam pindang berwarna cokelat, dan sosis solo.

Sajian yang mengawinkan selera kaum Belanda, Tiongkok, dan Jawa itu, kata Arie, menjadi penanda betapa berwarnanya Solo. Aneka etnik berbisnis, berinteraksi, dan hidup berdampingan. Mereka bergotong-royong, berkompromi, dan rendah hati. Mereka saling menukarkan kekayaan kultur masing-masing hingga ke atas wajan dan piring.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya