Drum Lokal, Kualitas Global

Dzulfikri Putra Malawi
07/2/2016 09:24
Drum Lokal, Kualitas Global
(MI/Adam Dwi)

EMPAT anak kecil tengah bersiap menunjukkan keahlian bermain drum di depan kamera. Mereka datang dari Kalimantan, Surabaya, dan beberapa kota lain untuk mengikuti program AHAY Kids Drum Compilation. Rupanya salah satu kameraman ialah drumer Pas Band, Richard Mutter. Ia bersama para juniornya itu dipertemukan merek drum lokal, AHAY.

Sang pemilik AHAY, Arif Hidayat Ay, 42, sejak 1997 telah berkutat dengan musik, khususnya studio rental dan reparasi drum di Jakarta, Bengkel Drum Jakarta.
Sayangnya, kerusuhan 1998 membuat bisnis pria kelahiran Pangkal Pinang itu gulung tikar. Ia pun memilih menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di tanah kelahirannya.
Pada 2011, ia dimutasi ke Jakarta dan menetap di Bekasi, Jawa Barat. Saat itu hasrat membuat drum muncul lagi. Bermodal mesin router kayu, ia memberanikan diri membuat drum dari balok-balok kayu. Kayu memang menjadi material penting bagi sebuah drum karena 80% komponennya memang terbuat dari kayu.

Solid lebih mantap
“Waktu itu saya lihat drum, bahan dasarnya multiply atau tripleks. Saya terpikir kenapa tidak buat yang lebih solid,” kisahnya membuka percakapan dengan Media Indonesia di pabrik pembuatan drum AHAY, di kawasan pegudang­an Mutiara Kosambi, Tangerang, Banten, Senin (1/2).

Tak disangka produk yang dibuat Arif mendapat respons baik di Facebook. Para drumer Jerman dan Prancis pun ikut memesan. “Awalnya saya tidak mau bilang itu buatan Indonesia karena takut diremehkan,” lanjutnya.

Baru setahun berjalan, ia mendapat rekan bisnis dari Austria, Georg Skrenek, yang juga ahli perkayuan. Selama setahun mereka meriset kayu di pelosok Kalimantan dan Jawa. Berbagai kayu, seperti ­sonokeling atau rosewood, ­Makassar ebony, kayu karet atau hevea, dan red mahogany mereka jajal. Kayu-kayu itu diolah untuk menjadi aneka komponen drum yang berbentuk bulat dan diistilahkan sebagai snare, tom-tom, floor tom, serta bas drum.

Tekstur kayu Indonesia, kata Arif, eksotis dan vintage serta memiliki karakter suara yang juga bagus untuk alat musik. Kerja keras menjajal bahan baku itu berbuah tiga buah merek drum, yaitu ABD Denish, Redd, dan Denish. Keempat merek, termasuk AHAY yang dirintis sebelumnya, dibedakan berdasarkan kualitas kayu.

Satu set drum makassar ebony dihargai Rp80 juta-Rp130 juta, sedangkan rosewood mulai Rp30 juta, lalu drum dari kayu lainnya yang berkualitas menengah ke bawah dihargai Rp9 juta.

Di pabriknya, kini Arif tidak hanya memproduksi drum berbahan kayu balok, tetapi juga lembaran kayu. “Kapasitasnya 700 buah per bulan untuk mengerjakan multiply wood, sementara solid wood hanya bisa 200 karena prosesnya lebih panjang,” terangnya.

Sekolah musik
Karena bisnisnya kian moncer, Arif pun mundur sebagai PNS tahun lalu. Ia pun kemudian berekspansi dengan membangun sekolah musik. Istimewanya, murid di sana tidak hanya diajari bermain drum, tapi juga mengenal seluruh komponen alat musik yang dimainkannya dengan melakukan factory tour di pabrik AHAY.

“Anak-anak jadi tahun apa istilah sparepart drum yang ia mainkan. Saya tidak mau pikiran bercabang. Saya juga punya strategi promo produk yang unik. Saya mencoba bikin merek yang tidak ada kompetitor. Kalau mau drum kayu solid pasti punya AHAY,” ujarnya.

Selain itu, Arif berani melakukan endorsment kepada 40 drumer dalam dan luar negeri. Tak tanggung-tanggung, dana sebesar Rp1 miliar dikeluarkan dalam setahun untuk langkahnya itu. Drumer pertama yang menjadi artisnya ialah pemain drum grup band Zivilia, Obot.

“Saya mendapat penolakan dari dua merek drum, terus bertemu AHAY, tadinya cuma mau benerin drum saya. Ternyata AHAY punya kayu solid dan gain yang dihasilkan lebih besar. Sound engineer saya awalnya pesimistis karena buatan Indonesia. Ternyata pas dipakai check sound, kualitasnya bagus dan hanya butuh waktu sebentar untuk mendapatkan suara maksimal,” ungkap Obot.

Agenda AHAY berikutnya meramaikan Shanghai Music Show 2016 dan membawa serta bahan mentahnya. Arif juga bekerja sama dengan pabrikan kayu di Taiwan, OEM, untuk membuat sparepart nonkayu.

Hingga saat ini omzet yang mampu dihasilkan Arif bersama dua rekan bisnisnya mencapai Rp400 juta dalam sebulan. Dua buah kantor perwakilan di Viena dan Australia sudah berdiri dan memasarkan produknya. Kini AHAY mulai berkibar di Asia, Australia, dan Eropa.

“Saya ingin menciptakan kultur industri alat musik yang baik dan benar. Coba bayangkan, dari dulu belum ada merek-merek alat musik buka tempat perbaikan di sini. After salesnya juga tidak dipikirkan. Saya tidak takut untuk mengubah ini menjadi lebih baik agar para musikus Indonesia juga merasa nyaman. Saya mau mulai dari diri sendiri dengan memberikan garansi satu tahun dan after sales service 5 tahun untuk semua produk,” ungkapnya.

Salah satu pembeli AHAY asal Surabaya, Harry Kurnia, berujar layanan yang komplet itulah yang jadi alasan utama ia membeli AHAY Makassar Ebony. “Saya suka kualitasnya, harga yang diberikan cukup murah dengan kualitas yang dihasilkan dan ada service center yang mempermudah konsumen,” kata Herry. (M-1)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya