Dialog Entang dan Sally

Abdillah Marzuqi
07/2/2016 08:05
Dialog Entang dan Sally
(ANTARA/Dodo Karundeng)

BEREMPAT mereka menghadap hutan bambu. Mereka satu keluarga dengan dua anak. Mereka duduk seperti posisi antara dua sujud dalam salat, tetapi dengan jari kaki menekuk. Kepala mereka menunduk dengan mata nanar menatap tanah. Di hadapan mereka, terhampar hutan bambu yang terbagi warna, antara hijau dan abu-abu. Mereka berpakaian senada serbahitam. Kelir yang lazim dimaknai sebagai penanda duka.

Posisi mereka layaknya menunggu eksekusi. Kepala menunduk dengan tangan kiri terjuntai lemas ke bawah, sedangkan tangan kanan mereka terselip ke belakang sembari memegang erat usus yang saling terhubung. Ujung usus itu berhulu pada seekor serigala yang tergeletak di sisi kanan mereka duduk. Perut serigala terburai dan tercurap darah.

Narasi tersebut merupakan gambaran seni instalasi karya Entang Wiharso berjudul Reclaim Paradise: Paradise Lost No 2. Salah satu karya yang dipajang dalam pameran bertajuk Conversation: Endless Acts in Human History di Galeri Nasional, Jakarta. Pameran berlangsung pada 14 Januari hingga 1 Februari 2016.

Tidak cuma karya Entang yang dipajang dalam pameran tersebut. Seorang seniman dari Australia bernama Sally Smart juga turut unjuk karya. Mereka berdua bertemu di Melbourne pada 2012 dan menjadi teman dekat sejak itu.

Kedua seniman menampilkan seni patung, lukisan, dan instalasi dengan metodologi dan teknik yang bervariasi. Pameran ini dikuratori Suwarno Wisetrotomo dan co-kurator Natalie King dari Australia.

Material aluminium tampak menjadi pilihan Entang untuk menuangkan ide, gagasan, kritik, serta pandangannya terhadap segala persoalan, sedangkan Sally banyak memakai teknik potong guna mewujudkan ide kreatifnya.

Reclaim Paradise: Paradise Lost terdiri dari dua bagian. Keduanya dapat dinikmati sebagai pertunjuk­an lakon tanpa gerak atau tanpa dialog (tablo). Entang merespons isu tanah. Di mana pun, perkara tanah selalu seksi, sensitif, sekaligus rumit. Tanah berkenaan dengan harga diri, eksistensi, identitas, sejarah, hukum, serta politik.
Karya tersebut bercerita tentang kisah tragis yang menimpa sebuah keluarga. Awalnya, mereka hidup dalam situasi dan kondisi yang menyenangkan. Namun, kesenangan mereka tak bertahan lama. Situasi lalu berubah mengancam. Tanah impian yang telah dibangun sejak lama tiba-tiba diklaim milik pihak lain. Mereka terancam tergusur. Kepemilikan yang diperjuangkan sepanjang hidup bisa tiba-tiba lenyap. Kondisi semacam itulah yang memunculkan situasi tegang bahkan rawan kekerasan.

Figur rumpun bambu dipilih Entang bukan tanpa alasan. Seniman kelahiran Tegal, Jawa Tengah, pada 19 Agustus 1967 itu, memaksudkannya sebagai komentar atas kebakaran hutan yang masif terjadi di Indonesia. Ironisnya, sering terjadi secara sengaja. Keberadaan hutan kemudian hilang dan lenyap begitu saja.

Figur serigala tergeletak berlumur darah dengan usus berpanjang juga punya makna. Di kalangan masyarakat Jawa, ada ungkapan ‘usus’ untuk menggambarkan seruan pada kesabaran. ‘Sing dowo ususe (yang panjang ususnya)’, ungkapan itu sering muncul dalam nasihat saat menghadapi perkara berat. Atau dalam kata lain, bersabarlah!

Serigala yang tergeletak semacam menjadi saksi bahwa dalam konflik, semuanya selalu menjadi korban, termasuk yang (merasa) menang.
Karya lain Entang, Chronic Satanic Fences, juga didasari pengamatan Entang. Kali ini menyorot perilaku agresif manusia karena dorongan kepemilikan dan kekuasaan. Instalasi memakai pagar besi yang berdiri di atas umpak kayu tradisional seperti yang sering dipakai dalam rumah Joglo. Lima figur manusia bermotif totol seperti macan. Lidah mereka menjulur keluar sampai ke balik jeruji besi. Kelimanya mewakilkan naluri kebinatangan yang mencoba keluar pagar.

Dua budaya
Sally juga menampilkan karya dengan proses kreatif yang melibatkan emosi tinggi. Karya instalasi The Exquisite Pirate terdiri dari bermacam material yang digunting, dipotong, ditumpuk, dan disusun sampai membentuk figur kapal bajak laut. Melalui teknik potong-tambal, Sally juga membuat sosok perompak yang berdiri tegak di samping kapal. Dalam catatan kuratorial Natalie King, Sally memakai figur perompak wanita sebagai metafora atas isu global kontemporer seperti isu identitas pribadi dan sosial, ketidakstabilan budaya, imigrasi, dan hibriditas. Kurator Suwarno mengungkapkan semacam pertanyaan, “Bukankah kini kita semua memang tengah berlayar dalam lautan kehidupan yang ternyata dipenuhi perompak di sekitar kita? Tak sembarang perompak karena mereka bisa berasal dari para elite politik atau elite birokrasi yang merampok kekayaan negara dan kebebasan warganya.”

Meski berpameran bersama, Entang dan Sally memilih untuk tidak membaurkan diri satu sama lain. Justru itu yang menjadi menarik. Layaknya bercakap, kedua karya Entang dan Smart mampu menjalin hubungan erat tanpa menghilangkan identitas kesenimanan masing-masing. Karya mereka saling mengetengahkan kemiripan sekaligus perbedaan. Bukan dalam makna membuat satu karya secara bersama-sama. Mereka berkarya sembari menghargai kehebatan sinergi dan perbedaan budaya satu sama lain.

“Lebih seperti dialog, percakap­an,” ujar Entang yang pernah dinobatkan sebagai salah satu 10 pelukis terbaik Indonesia versi satu majalah nasional.
Sebuah titik temu dari Entang dan Sally adalah karya mereka bermuat­an opini. Suatu pandangan dan penilaian terhadap semua persoalan yang mendasari penciptaan karya mereka. Opini tersebut muncul dari kesadaran yang dirangsang oleh sebuah pengamatan, pengalaman, dan keterlibatan. Setidaknya, menurut kedua seniman itu, sebagaimana dicatat Suwarno, Entang menyebut karyanya sebagai cara untuk ‘menggaruk yang gatal’, sedangkan Sally membilang karyanya sebagai upaya untuk ‘menambal sobek (luka) dengan tetap meninggalkan bekasnya. (M-4)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya