Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Penyair Korea Kong Kwang-kyu baru saja menerbitkan antologi puisinya ke dalam bahasa Indonesia berjudul Pesan Sang Mentari. Antologi ini berisikan sekitar 43 puisi bertema hubungan antara manusia dan alam.
Sejak tahun lalu Kong menjadi juri anugrah tahunan sastra Kusala Sastra Khatulistiwa ini menyertakan tiga puisi yang diramunya saat berada di Indonesia. Salah satunya puisi berjudul Ambarawa yang Membara.
"Sangat disayangkan ada satu puisi yang tidak dimasukkan di sini, puisi soal alkohol," kata Kong dalam Peluncuran dan Bincang Buku Pesan Sang Mentari, di Ruang Apung Perpustakaan Universitas Indonesia, Depok, Senin (21/10).
Puisi bagi orang Korea, kata Kong, memiliki posisi sangat penting. Namun pada periode pendudukan Jepang dan masa perang, perkembangan puisi mengalami perlambatan. "Bagaimana pun puisi selalu berkembang dari pengalaman masyarakat dan penyairnya," kata Kong.
Peraih penghargaan Literatur Silla ini juga mengungkapkan tema-tema puisi di Korea seputar religiusitas Buddha dan Kristen, serta terjemahan bahasa Inggris. Sayangnya, kultur Asia Tenggara kurang mendapat sorotan. Kong pun mempelajari Indonesia melalui kisah-kisah legenda dan beberapa karya Pramoedya Ananta Toer dan Max Havelaar.
Menurut Joko Pinurbo yang menjadi penyelaras terjemahan antologi Pesan Sang Mentari menyebut puisi-puisi Kong kontekstual dengan kondisi Indonesia. Menyangkut kereligiusan manusia, namun abai pada kondisi alam, atau kekeluargaan yang menyusut.
"Ada penghayatan transendental, dari suatu yang keilahian diturunkan ke tingkat pengalaman manusiawi. Seperti dalam salah satu puisi yang menyebutkan membuat sup tapi tidak ada daging, hanya airnya. Ini dari sesuatu yang makro-kosmos lalu ditarik ke dalam mikro-kosmos. Teknik semacam ini hanya bisa dilakukan oleh penyair dengan kemampuan dan penciptaan luar biasa. Kong mendeskripsikan perilaku karakter alam dengan manusia," ungkap Jokpin.
Sementara itu, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia Ibnu Wahyudi yang juga penyair menyebutkan salah satu problematika menerjemahkan karya sastra ialah pada diksi, bisa saja tergelincir pada ketidak tepatan.
"Problem terjemahan memang seperti itu. Saran saya mungkin ialah dengan menggunakan catatan kaki. Kita jadi paham. Misal pohon Sakura dan Zelkova. Biasanya soal musim atau flora dan fauna akan sulit ditemukan terjemahannya, atau juga karena dari sasarannya tidak mengenal istilah-istilah yang ada."
Ia melanjutkan, "Dalam konteks terjemahan, ada ungkapan pengkhianatan kreatif. Penerjemah yang baik ialah yang mampu berkhianat. Bukan sekadar kata tetapi memgungkapkan hal baru sesuai bahasa sastra," tambah Ibnu. (M-3)
Baca juga : Organisme Super dengan 720 Kelamin dipamerkan di Paris
Dalam buku kumpulan memoar mendiang Presiden Ebrahim Raisi, dituturkan masa kecilnya yang penuh perjuangan.
Setelah menduduki kursi pimpinan puncaksejak awal masa covid-19, Faizal Rochmad Djoemadi berhasil membawa PT Pos Indonesia keluar dari masa krisis akibat pandemi dan internal.
Lewat buku ini, Juneman ingin menyatakan bahwa praktik koruptif justru datang dari orang dengan pendidikan yang tinggi.
Selain menghadirkan kisah hidup Pak Tua, bagian menarik dari buku ini ialah kumpulan tulisan dan puisi di Buku Harian Bersampul Hitam.
PEREMPUAN dengan busana blazer di tengah kerumunan dan bus kota yang melintas itu menutup mulut dan hidungnya dengan satu tangan
Buku kumpulan puisi ini seakan membawa pembaca mengitari Kota Paris yang romantis dan penuh sejarah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved